Cekungan Kutai merupakan salah
satu cekungan berumur Tersier yang paling ekonomis di Indonesia.
memiliki luas kurang lebih 60.000 km2 yang terisi oleh batuan sedimen
tersier dengan ketebalan hingga 14 km pada bagian yang paling tebal. Cekungan ini
merupakan cekungan yang paling luas dan paling dalam di Indonesia bagian Barat yang
memiliki cadangan minyak, batubara, dan gas yang besar (Allen dan chambers, 1998 dalam Rienno
Ismail, 2008).
Cekungan Kutai terletak di bagian Timur dari paparan Sundaland, yang
merupakan perluasan lempeng kontinen Eurasia ke arah Tenggara. Cekungan Kutai
di bagian Utara dibatasi oleh kelurusan Bengalong dan Zona Patahan
Sangkulirang, di bagian Selatan dibatasi oleh Sesar Adang, di bagian Barat
dibatasi oleh Punggungan Kalimantan bagian tengah, dan di sebelah Timur dibatasi
oleh Selat Makasar.
Cekungan Kutai dihasilkan oleh proses pemekaran (rift basin) yang terjadi pada Eosen Tengah yang melibatkan
pemekaran selat Makasar bagian Utara dan Laut Sulawesi (Chambers & Moss,
2000 dalam Rienno Ismail, 2008). Selama Kapur Tengah sampai Eosen Awal, pulau
Kalimantan merupakan tempat terjadinya kolisi dengan mikro-kontinen, busur
kepulauan, penjebakan lempeng oceanic
dan intrusi granit, membentuk batuan dasar yang menjadi dasar dari Cekungan
Kutai. Sedimentasi di Cekungan Kutai dapat dibagi menjadi dua yaitu, sedimen
Paleogen yang secara umum bersifat transgresif dan fasa sedimentasi Neogen yang
secara umum bersifat regresif (Allen dan Chambers, 1998 dalam Rienno Ismail,
2008).
Fasa sedimentasi Paleogen dimulai ketika terjadi fasa tektonik
ekstensional dan pengisian riftada
kala Eosen. Pada masa ini, Selat Makasar mulai mengalami pemekaran serta
Cekungan Barito, Kutai, dan Tarakan merupakan zona subsidence yang saling terhubungkan, kemudian sedimentasi Paleogen
mencapai puncak pada fasa pengisian di saat cekungan tidak mengalami pergerakan
yang signifikan, sehingga mengendapkan serpih laut dalam secara regional dan
batuan karbonat pada Oligosen Akhir. Fasa sedimentasi Neogen dimulai pada
Miosen Bawah dan masih berlanjut terus sampai sekarang, meghasilkan endapan
delta yang berprogradasi dan terlampar di atas endapan fasa sedimentasi
Paleogen.
Selama Eosen Akhir, sejumlah half graben terbentuk sebagai respon dari terjadinya
fasa ekstensi regional. Fasa ini terlihat juga di tempat lain, yaitu berupa pembentukan
laut dan Selat Makasar. Half graben
ini terisi dengan cepat oleh endapan syn-rift
pada Eosen Tengah-Eosen Akhir dengan variasi dari beberapa fasies litologi.
Pada Eosen Akhir, cekungan mengalami pendalaman sehingga terbentuk suatu kondisi
marin dan diendapkan endapan transgresi yang dicirikan oleh serpih laut dalam.
Material yang diendapkan berupa endapan turbidit kipas laut dalam dan
batuan karbonat pada bagian yang dekat dengan batas cekungan, hal ini
berlangsung terus hingga Miosen Awal (Allen dan Chambers, 1998 dalam Rienno
Ismail, 2008).
Tektonik inversi terjadi pada Miosen Awal, menyebabkan pengangkatan pada pusat
cekungan yang terbentuk selama Eosen dan Oligosen, sehingga cekungan mengalami
pendangkalan. Erosi terhadap batuan sedimen Paleogen dan batuan volkanik
andesitik menghasilkan luapan sedimen, sehingga terjadi progradasi delta dari Barat
ke Timur. Di daerah sekitar Samarinda, ketebalan endapan Miosen Awal dapat
mencapai 3500 m.
Inversi berlanjut dan mempengaruhi cekungan selama Miosen Tengah dan Pliosen.
Seiring berjalannya waktu, inversi semakin mempengaruhi daerah yang terletak lebih
ke arah Timur, sehingga mempercepat proses progradasi delta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar