Profil Kabupaten Wonogiri
Logo
Kabupaten Wonogiri terletak pada 7o32'-8o15' Lintang Selatan dan Garis Bujur 110o41'-111o18' Bujur Timur. Terletak disebelah tenggara Provinsi Jawa Tengah berbatasan dengan Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sehingga memiliki yang strategis. Luas wilayah Kabupaten Wonogiri 182.236,02 ha, sebagian besar dibagian selatan berupa pegunungan kapur/ kars yang masuk jajaran Pegunungan Seribu. Secara Administratif wilayah Kabupaten Wonogiri terdiri dari 25 Kecamatan 294 Desa dan Kelurahan, dengan batas wilayah sebagai berikut: sebelah selatan Kabupaten Wonogiri berbatasan dengan Samudra Indonesia, sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Sukaharjo dan Kabupaten Karanganyar (Provinsi Jawa Tengah), sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Ponorogo, Kabupaten Magetan dan Kabupaten Pacitan (Provinsi Jawa Timur), sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Gunungkidul (Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta).
Luas lahan pertanian di wonogiri lebih dari 98.082 Ha, sangat potensial guna pengembangan investasi baik untuk budidaya tanaman pangan maupun holtikultura. Sektor pertanian telah didukung sarana irigasi sebanyak 3.970 unit dengan panjang 1.560 km. Beberapa komoditas pertanian yang potensial untuk dikembangkan antara lain jagung dengan produksi rata-rata yang mampu mencapai 5,62 ton/ha jagung kering giling. Bahkan jika dikelola dengan pola intensifikasi tingkat produksinya mampu mencapai 11 ton/ha. Kemudian ada ubi kayu, kedelai, dan kacang tanah. Kabupaten Wonogiri juga memiliki areal lahan kering sekitar 65.381 ha yang potensial untuk pengembangan tanaman perkebunan. Ditunjang dengan topografi tanahnya yang berada 300 601 dpl. Komoditas perkebunan yang dapat dikembangkan antara lain mete, cengkeh dan cincau/janggelan. Sektor peternakan juga sanaga potensial dikembangkan di kabupaten ini. Terlebih lagi sebagian masyarakatnya sudah terbiasa membudidayakan ternak khususnya ternak sapi dan kambing. Disamping itu juga didukung ketersedian hijauan makanan ternak yang cukup melimpah, mencapai lebih dari 1.362.319 ton/tahun. Kabupaten Wonogiri memiliki Waduk Serbaguna Gajah Mungkur seluas 8.800 ha yang memiliki potensi untuk pengembangan budidaya perikanan.Luas waduk yang potensial untuk pengembangan budidaya perikanan dengan sistem keramba apung seluas lebih dari 176 ha. Jumlah keramba jaring apung yang sudah dikembangkan sebanyak 500 unit dari kapasitas 2000 unit sehingga masih terdapat potensi mencapai 1500 unit keramba.Untuk mencukupi kebutuhan bibit ikan, terdapat 5 unit Balai Benih Ikan (BBI) seluas 166 ha yang tersebar di Kecamatan Pracimantoro, Giriwoyo, Manyaran, Sidoharjo dan Slogohimo dengan total produksi 2.563.440 ekor/tahun. Disamping itu terdapat 6 unit pembibitna rakyat yang tersebar di Kecamatan Pracimantoro, Giriwoyo, Baturetno, Selogiri, Bulukerto dan Girimarto dengan total produksi lebih dari 2.065.500 ekor/tahun. Sekotr pariwisata juga memiliki potensi yang tidak kalah besar, diantaranya wisata alam Pantai Nampu dan Pantai Sembukan, wisata Karst Gunung Sewu serta Taman rekreasi Sendang Asri Waduk Gajah Mungkur. Kabupaten Wonogiri juga memiliki berbagai macam bahan galian. Diantaranya emas, tembaga, mangan dan galena, serta galian non logam seperti batu gamping, andesit, pasir kuarsa dan banyak lagi.
Jumat, 19 Juni 2009
fotogrametri
BAB II
DASAR TEORI
Fotogrametri dapat didefinisikan sebagai suatu seni, pengetahuan dan teknologi untuk memperoleh informasi yang dapat dipercaya tentang suatu obyek fisik dan keadaan disekitarnya melalui proses perekaman, pengamatan/ pengukuran dan interpretasi citra fotografis atau rekaman gambar gelombang elektromagnetik. Fotogrametri diperlukan karena :
• Untuk menentukan letak relatif objek atau fenomena dan untuk menentukan ukuran lainnya.
• Untuk menggambarkannya pada peta.
Salah satu karateristik fotogrametri adalah pengukuran terhadap objek yang dilakukan tanpa berhubungan perlu berhubungan ataupun bersentuhan secara langsung dengannya. Pengukuran terhadap objek tersebut dilakukan melalui data yang diperoleh pada sistem sensor yang digunakan.
Terminologi Close Range atau Rentang Dekat muncul pada saat teknik ini digunakan untuk objek dengan jarak kurang dari 100 meter dari posisi kamera berada dekat dengan objek. Fotogrametri rentang dekat adalah teknik pengukuran 3D tanpa kontak langsung dengan objek, menggunakan kamera untuk mendapatkan geometri sebuah objek.
Dalam fotogrametri syarat fundamental yang banyak digunakan adalah syarat kesegarisan berkas sinar (collinearity condition) yaitu suatu kondisi dimana titik pusat proyeksi, titik foto dan titik obyek di tanah terletak pada satu garis dalam ruang. Kondisi ini dinamakan kondisi kolinearitas.
Pada acara praktikum kali ini, kita akan mencari data melalui pengukuran dari unsur – unsur fotogrametri. Pengukuran yang dilakukan antara lain :
1. Pengukuran Luas
Dapat dibedakan menjadi tiga kategori yaitu alat sederhana, alat mekanik dan alat elektronik. Dalam hal ini yang digunakan adalah alat sederhana karena penggunaannya paling cepat. Berdasarkan metode yang digunakan alat sederhana dibedakan atas :
a. Metode strip; yang digunakan berupa lembaran tembus cahaya yang padanya ditarik garis-garis sejajar dan berinterval sama besar. Lembaran tembus cahaya ini ditumpangkan pada objek yang diukur luasnya. Kemudian ditarik garis-garis tegak lurus pada batas objek sedemikian hingga bagian yang dihilangkan sama dengan bagian yang yang ditambahkan. Sisi atas segi empat panjang atau sisi atas strip itu dijumlahkan dan dikalikan dengan intervalnya sehingga diperoleh luas objek pada foto.
Dari gambar di atas, luas objek diukur dengan menjumlahkan luas masing-masing segi empat panjang (Luas ABB’A’ + CDD’C’ + EFF’E’), dimana AA’, BB’, CC’, DD’, EE’ dan FF’ merupakan interval strip.
(Tim Asisten Geomorfologi dan Geofoto, 2008)
b. Metode bujursangkar; dilakukan dengan kertas milimeter. Kertas milimeter ini ditumpangkan di atas objek yang diukur luasnya. Dalam mengukur luas pada objek pada citra dihitung berapa bujur sangkar 1cm x 1cm yang jatuh dalam batas objek yang diukur luasnya. Dari gambar 2.2, luas objek dapat diukur dengan menjumlahkan bujursangkar yang memuat luas lebih dari setengah bujursangkar. Jika bujursangkar berjumlah 12 buah dengan skala pada foto adalah 1 : 50.000 (maka 1 cm = 500 m), maka 1 bujursangkar sama dengan 250.000 m2. dengan demikian luas objek tersebut adalah 12 x 250.000 m2 sama dengan 3.000.000 m2.
c. Metode jaringan titik; alat ukurnya berupa lembaran tembus cahaya yang diberi jaringan titik yang masing-masing berjarak sama. Titik itu serupa dengan titik yang dibuat pada tengah-tengah bujursangkar yang kemudian bujursangkarnya dihapus. Dalam metode ini kita tinggal menghitung berapa titik yang masuk dalam batas objek yang diukur luasnya. Tiap titik dianggap mewakili satu bujursangkar, sehingga tiap titik dikalikan dengan luas bujursangkar untuk mendapatkan luas objeknya.
(Tim Asisten Geomorfologi dan Geofoto, 2008)
Gambar 2.3. Pengukuran Luas Metode Jaringan Titik
2. Skala Foto Udara Vertikal
Skala foto udara merupakan perbandingan antara jarak pada foto udara dengan jarak sebenarnya di lapanagan. Skala foto diperlukan untuk menentukan ukuran objek maupun untuk mengenalinya. Ada beberapa cara untuk menentukan skala foto udara vertikal, yaitu :
Perbandingan antara panjang fokus dan tinggi terbang. Persamaannya yaitu :
S = f / H
dengan S = skala, f = fokus dan H = tinggi terbang.
Membandingkan jarak foto terhadap jarak lapangan, dilakukan bila membawa foto udara ke lapangan atau kalau tahu jarak sesungguhnya objek di lapangan dari objek yang tergambar pada foto. Persamaan yang digunakan yaitu :
S = df / dl
dengan S = skala, df = jarak pada foto, dan dl = jarak di lapangan.
Membandingkan jarak pada foto terhadap jarak pada peta yang telah diketahui jaraknya. Persamaan yang digunakan yaitu :
dp / pf = df / pp
dengan dp = jarak di peta, df = jarak pada foto, pf = skala foto dan pp = skala pada peta.
3. Basis Foto (Photo Base)
Merupakan jarak antara dua pemotretan berurutan. Hal ini menyebabkan kenampakan adanya pergeseran titik pusat foto satu dengan foto berikutnya. Jarak pergeseran pada lembar foto ini disebut photo base atau basis foto. Besarnya basis foto pada sepasang foto udara adalah rata-rata dari hasil pengukuran dua basis foto tersebut, persamaannya yaitu :
B = b1 + b2
2
dengan B = basis foto, b1 = basis foto 1 dan b2 = basis foto 2.
(Tim Asisten Geomorfologi dan Geofoto, 2008)
4. Paralaks
Merupakan perubahan kedudukan gambaran titik pada foto udara yang bertampalan yang disebabkan oleh perubahan kedudukan kamera. Paralaks ini disebut juga dengan paralaks absolut atau paralaks total. Lebih jauh dikemukakan bahwa paralaks absolut suatu titik adalah perbedaan aljabar yang diukur sepanjang sumbu x, berpangkal dari sumbu y ke arah titik bersangkutan yang tergambar pada tampalan foto udara. Hal ini dilandasi oleh asumsi bahwa masing-masing foto udara itu benar-benar vertikal dan dengan tinggi terbang yang sama. Pada gambar 2.4, titik A dan B terletak di atas bidang rujukan dan titik P terletak pada titik utama. Nilai paralaks absolutnya merupakan jumlah nilai sumbu X masing-masing titik, yaitu jumlah absolutnya (tanpa tanda negatifnya).
Gambar 2.4. Paralaks Titik A, B, dan U
Pengukuran paralaks dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu :
a. Pengukuran paralaks secara stereoskopik; dilakukan dengan menggunkan batang paralaks atau meter paralaks (parallax bar) terdiri dari dua keping kaca yang diberi tanda padanya. Tanda ini disebut tanda apung (floating mark). Masing-masing keping kaca dipasang pada batang yang dapat diatur panjangnya yang diatur dengan memutar sekrup mikrometer. Pengukuran dilakukan setelah foto disetel di bawah pengamatan stereoskopik. Tanda apung kiri diletakkan pada titik yang akan diukur paralaksnya di foto kiri, dan tanda apung kanan diletakkan pada titik yang akan diukur paralaksnya pada foto kanan, dimana peletakan dilakukan dengan melihat dari stereoskop. Kemudian dilakukan pembacaan pada sekrup mikrometer yang dibaca dalam milimeter (mm).
b. Pengukuran paralaks secara monoskopik; atau disebut juga cara manual, dilakukan tanpa menggunakan batang paralaks, melainkan hanya dengan menggunakan penggaris biasa. Dari gambar 2.5, maka paralaks titik A dan titik B dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut :
PA = XA1 – (-XA2) = XA1 + XA2 PB = XB1 – XB2
Gambar 2.5. Pengukuran Paralaks dengan Cara Monoskopik
5. Beda Tinggi
Beda tinggi antara dua titik yang tergambar pada tampalan foto dapat diukur berdasarkan beda paralaksnya.paralaks suatu titik dapat diukur dan dinyatakan dengan persamaan :
h = H p
b
dengan h = beda tinggi, H = tinggi terbang, p = beda paralaks dan b = base foto. Jika beda tinggi, beda paralaks dan base foto diketahui maka tinggi terbang dapat ditentukan dengan persamaan di atas.
Dari persamaan di atas dapat divariasikan dan menghasilkan beberapa persamaan, yaitu :
a. ∆h = H. ∆P
PB + ∆P
dengan ∆h = beda tinggi, HB = tinggi terbang pesawat dari titik B, PB = paralaks titik B, PA = paralaks titik A, ∆P = selisih paralaks A dan B, H = tinggi terbang pesawat dari bidang dasar, b = jarak dasar foto (photo base), B = jarak dasar udara (air base) dan f = jarak fokus lensa kamera. Hasil pengukuran beda tinggi akan teliti apabila foto udara yang digunakan berskala 1 : 10.000 atau lebih besar.
(Tim Asisten Geomorfologi dan Geofoto, 2008)
6. Pengukuran Jarak Horizontal
Jarak pada foto udara tidak mencerminkan jarak sesungguhnya di lapangan, karena ada pergeseran. Untuk menentukan jarak horizontal yang sesungguhnya digunakan cara grafis, karena kalau dengan mengukur relief-displacement satu per satu akan membutuhkan waktu lama. Prosedur pengukurannya yaitu :
a. Tentukan pusat masing-masing foto yang berpasangan.
b. Letakkan miuka pada masing-masing foto udara.
c. Titik pusat foto (n1 dan n2) dan titik pusat foto konjugasi (n1’ dan n2’) diplot pada mika.
d. Tarik garis dari n1 ke A1 dan ke B1, juga garis n2A2 dan n2B2 pada mika.
e. Masing-masing mika diambil dan dipasang berimpitan hingga n1 berimpit denagn n1’ dan n2 berimpit dengan n2’.
f. Titik potong antara n1A1 dan n2A2 serta n1B1 dan n2B2 dihubungkan. Garis penghubung itu adalah jarak AB yang sudah terkoreksi. Sehingga jarak di lapangan dihitung dengan persamaan = dAB x H/f, dengan dAB = jarak AB pada foto yang sudah terkoreksi, H = tinggi terbang pesawat dari bidang dasar dan f = jarak fokus lensa kamera.
Gambar 2.6. Pengukuran Jarak Horizontal Secara Grafis
(Tim Asisten Geomorfologi dan Geofoto, 2008)
DASAR TEORI
Fotogrametri dapat didefinisikan sebagai suatu seni, pengetahuan dan teknologi untuk memperoleh informasi yang dapat dipercaya tentang suatu obyek fisik dan keadaan disekitarnya melalui proses perekaman, pengamatan/ pengukuran dan interpretasi citra fotografis atau rekaman gambar gelombang elektromagnetik. Fotogrametri diperlukan karena :
• Untuk menentukan letak relatif objek atau fenomena dan untuk menentukan ukuran lainnya.
• Untuk menggambarkannya pada peta.
Salah satu karateristik fotogrametri adalah pengukuran terhadap objek yang dilakukan tanpa berhubungan perlu berhubungan ataupun bersentuhan secara langsung dengannya. Pengukuran terhadap objek tersebut dilakukan melalui data yang diperoleh pada sistem sensor yang digunakan.
Terminologi Close Range atau Rentang Dekat muncul pada saat teknik ini digunakan untuk objek dengan jarak kurang dari 100 meter dari posisi kamera berada dekat dengan objek. Fotogrametri rentang dekat adalah teknik pengukuran 3D tanpa kontak langsung dengan objek, menggunakan kamera untuk mendapatkan geometri sebuah objek.
Dalam fotogrametri syarat fundamental yang banyak digunakan adalah syarat kesegarisan berkas sinar (collinearity condition) yaitu suatu kondisi dimana titik pusat proyeksi, titik foto dan titik obyek di tanah terletak pada satu garis dalam ruang. Kondisi ini dinamakan kondisi kolinearitas.
Pada acara praktikum kali ini, kita akan mencari data melalui pengukuran dari unsur – unsur fotogrametri. Pengukuran yang dilakukan antara lain :
1. Pengukuran Luas
Dapat dibedakan menjadi tiga kategori yaitu alat sederhana, alat mekanik dan alat elektronik. Dalam hal ini yang digunakan adalah alat sederhana karena penggunaannya paling cepat. Berdasarkan metode yang digunakan alat sederhana dibedakan atas :
a. Metode strip; yang digunakan berupa lembaran tembus cahaya yang padanya ditarik garis-garis sejajar dan berinterval sama besar. Lembaran tembus cahaya ini ditumpangkan pada objek yang diukur luasnya. Kemudian ditarik garis-garis tegak lurus pada batas objek sedemikian hingga bagian yang dihilangkan sama dengan bagian yang yang ditambahkan. Sisi atas segi empat panjang atau sisi atas strip itu dijumlahkan dan dikalikan dengan intervalnya sehingga diperoleh luas objek pada foto.
Dari gambar di atas, luas objek diukur dengan menjumlahkan luas masing-masing segi empat panjang (Luas ABB’A’ + CDD’C’ + EFF’E’), dimana AA’, BB’, CC’, DD’, EE’ dan FF’ merupakan interval strip.
(Tim Asisten Geomorfologi dan Geofoto, 2008)
b. Metode bujursangkar; dilakukan dengan kertas milimeter. Kertas milimeter ini ditumpangkan di atas objek yang diukur luasnya. Dalam mengukur luas pada objek pada citra dihitung berapa bujur sangkar 1cm x 1cm yang jatuh dalam batas objek yang diukur luasnya. Dari gambar 2.2, luas objek dapat diukur dengan menjumlahkan bujursangkar yang memuat luas lebih dari setengah bujursangkar. Jika bujursangkar berjumlah 12 buah dengan skala pada foto adalah 1 : 50.000 (maka 1 cm = 500 m), maka 1 bujursangkar sama dengan 250.000 m2. dengan demikian luas objek tersebut adalah 12 x 250.000 m2 sama dengan 3.000.000 m2.
c. Metode jaringan titik; alat ukurnya berupa lembaran tembus cahaya yang diberi jaringan titik yang masing-masing berjarak sama. Titik itu serupa dengan titik yang dibuat pada tengah-tengah bujursangkar yang kemudian bujursangkarnya dihapus. Dalam metode ini kita tinggal menghitung berapa titik yang masuk dalam batas objek yang diukur luasnya. Tiap titik dianggap mewakili satu bujursangkar, sehingga tiap titik dikalikan dengan luas bujursangkar untuk mendapatkan luas objeknya.
(Tim Asisten Geomorfologi dan Geofoto, 2008)
Gambar 2.3. Pengukuran Luas Metode Jaringan Titik
2. Skala Foto Udara Vertikal
Skala foto udara merupakan perbandingan antara jarak pada foto udara dengan jarak sebenarnya di lapanagan. Skala foto diperlukan untuk menentukan ukuran objek maupun untuk mengenalinya. Ada beberapa cara untuk menentukan skala foto udara vertikal, yaitu :
Perbandingan antara panjang fokus dan tinggi terbang. Persamaannya yaitu :
S = f / H
dengan S = skala, f = fokus dan H = tinggi terbang.
Membandingkan jarak foto terhadap jarak lapangan, dilakukan bila membawa foto udara ke lapangan atau kalau tahu jarak sesungguhnya objek di lapangan dari objek yang tergambar pada foto. Persamaan yang digunakan yaitu :
S = df / dl
dengan S = skala, df = jarak pada foto, dan dl = jarak di lapangan.
Membandingkan jarak pada foto terhadap jarak pada peta yang telah diketahui jaraknya. Persamaan yang digunakan yaitu :
dp / pf = df / pp
dengan dp = jarak di peta, df = jarak pada foto, pf = skala foto dan pp = skala pada peta.
3. Basis Foto (Photo Base)
Merupakan jarak antara dua pemotretan berurutan. Hal ini menyebabkan kenampakan adanya pergeseran titik pusat foto satu dengan foto berikutnya. Jarak pergeseran pada lembar foto ini disebut photo base atau basis foto. Besarnya basis foto pada sepasang foto udara adalah rata-rata dari hasil pengukuran dua basis foto tersebut, persamaannya yaitu :
B = b1 + b2
2
dengan B = basis foto, b1 = basis foto 1 dan b2 = basis foto 2.
(Tim Asisten Geomorfologi dan Geofoto, 2008)
4. Paralaks
Merupakan perubahan kedudukan gambaran titik pada foto udara yang bertampalan yang disebabkan oleh perubahan kedudukan kamera. Paralaks ini disebut juga dengan paralaks absolut atau paralaks total. Lebih jauh dikemukakan bahwa paralaks absolut suatu titik adalah perbedaan aljabar yang diukur sepanjang sumbu x, berpangkal dari sumbu y ke arah titik bersangkutan yang tergambar pada tampalan foto udara. Hal ini dilandasi oleh asumsi bahwa masing-masing foto udara itu benar-benar vertikal dan dengan tinggi terbang yang sama. Pada gambar 2.4, titik A dan B terletak di atas bidang rujukan dan titik P terletak pada titik utama. Nilai paralaks absolutnya merupakan jumlah nilai sumbu X masing-masing titik, yaitu jumlah absolutnya (tanpa tanda negatifnya).
Gambar 2.4. Paralaks Titik A, B, dan U
Pengukuran paralaks dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu :
a. Pengukuran paralaks secara stereoskopik; dilakukan dengan menggunkan batang paralaks atau meter paralaks (parallax bar) terdiri dari dua keping kaca yang diberi tanda padanya. Tanda ini disebut tanda apung (floating mark). Masing-masing keping kaca dipasang pada batang yang dapat diatur panjangnya yang diatur dengan memutar sekrup mikrometer. Pengukuran dilakukan setelah foto disetel di bawah pengamatan stereoskopik. Tanda apung kiri diletakkan pada titik yang akan diukur paralaksnya di foto kiri, dan tanda apung kanan diletakkan pada titik yang akan diukur paralaksnya pada foto kanan, dimana peletakan dilakukan dengan melihat dari stereoskop. Kemudian dilakukan pembacaan pada sekrup mikrometer yang dibaca dalam milimeter (mm).
b. Pengukuran paralaks secara monoskopik; atau disebut juga cara manual, dilakukan tanpa menggunakan batang paralaks, melainkan hanya dengan menggunakan penggaris biasa. Dari gambar 2.5, maka paralaks titik A dan titik B dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut :
PA = XA1 – (-XA2) = XA1 + XA2 PB = XB1 – XB2
Gambar 2.5. Pengukuran Paralaks dengan Cara Monoskopik
5. Beda Tinggi
Beda tinggi antara dua titik yang tergambar pada tampalan foto dapat diukur berdasarkan beda paralaksnya.paralaks suatu titik dapat diukur dan dinyatakan dengan persamaan :
h = H p
b
dengan h = beda tinggi, H = tinggi terbang, p = beda paralaks dan b = base foto. Jika beda tinggi, beda paralaks dan base foto diketahui maka tinggi terbang dapat ditentukan dengan persamaan di atas.
Dari persamaan di atas dapat divariasikan dan menghasilkan beberapa persamaan, yaitu :
a. ∆h = H. ∆P
PB + ∆P
dengan ∆h = beda tinggi, HB = tinggi terbang pesawat dari titik B, PB = paralaks titik B, PA = paralaks titik A, ∆P = selisih paralaks A dan B, H = tinggi terbang pesawat dari bidang dasar, b = jarak dasar foto (photo base), B = jarak dasar udara (air base) dan f = jarak fokus lensa kamera. Hasil pengukuran beda tinggi akan teliti apabila foto udara yang digunakan berskala 1 : 10.000 atau lebih besar.
(Tim Asisten Geomorfologi dan Geofoto, 2008)
6. Pengukuran Jarak Horizontal
Jarak pada foto udara tidak mencerminkan jarak sesungguhnya di lapangan, karena ada pergeseran. Untuk menentukan jarak horizontal yang sesungguhnya digunakan cara grafis, karena kalau dengan mengukur relief-displacement satu per satu akan membutuhkan waktu lama. Prosedur pengukurannya yaitu :
a. Tentukan pusat masing-masing foto yang berpasangan.
b. Letakkan miuka pada masing-masing foto udara.
c. Titik pusat foto (n1 dan n2) dan titik pusat foto konjugasi (n1’ dan n2’) diplot pada mika.
d. Tarik garis dari n1 ke A1 dan ke B1, juga garis n2A2 dan n2B2 pada mika.
e. Masing-masing mika diambil dan dipasang berimpitan hingga n1 berimpit denagn n1’ dan n2 berimpit dengan n2’.
f. Titik potong antara n1A1 dan n2A2 serta n1B1 dan n2B2 dihubungkan. Garis penghubung itu adalah jarak AB yang sudah terkoreksi. Sehingga jarak di lapangan dihitung dengan persamaan = dAB x H/f, dengan dAB = jarak AB pada foto yang sudah terkoreksi, H = tinggi terbang pesawat dari bidang dasar dan f = jarak fokus lensa kamera.
Gambar 2.6. Pengukuran Jarak Horizontal Secara Grafis
(Tim Asisten Geomorfologi dan Geofoto, 2008)
Jumat, 05 Juni 2009
mineral optik nikol terbuka nikol tertutup
Pengaturan Mikroskop
Pengaturan yang paling penting adalah memusatkan perputaran meja objek/centering, pengaturan arah getaran polarisator sejajar dengan salah satu benang silang, dan pengaturan arah getar analisator agar tegak lurus arah getar polarisator.
Centering penting dilakukan agar pada saat pengamatan dengan menggunakan perputaran meja objek, mineral yang kita amati tetap berada pada medan pandangan (tidak keluar dari medan pandangan).
Pengaturan arah getar polarisator harus dilakukan agar kita tahu persis arah getaran sinar biasa dan luar biasa yang diteruskan oleh polarisator searah dengan salah satu arah benang silang, apakah benang tegak (N-S) atau benang horisontal (E-W), sehingga memudahkan dalam penentuan sifat-sifat optik yang berhubungan dengan sumbu-sumbu kristalografi dan sumbu-sumbu sinarnya.
Pengaturan arah getar analisator harus dilakukan agar benar-benar tegak lurus arah getar polarisator, caranya adalah dengan memasang kedua bagian tanpa menggunakan peraga. Apabila arah getar kedua nikol sudah saling tegak lurus (membentuk sudut 90o) maka yang teramati pada okuler adalah keadaan gelap sama sekali karena cahaya yang tadinya terpilih oleh polarisator sehingga hanya yang bergetar pada satu arah saja kemudian terserap oleh analisator seluruhnya. Dengan demikian apabila kenampakannya belum gelap sama sekali, berarti kedudukan analisator belum tegak lurus polarisator dan harus memutar analisator hingga kedudukan gelap maksimum.
2.3 Pengamatan Mikroskopik dengan Ortoskop tanpa Nikol
Pengamatan mikroskop polarisasi tanpa nikol dalam praktek diartikan bahwa analisator tidak dipergunakan (berarti analisator dikeluarkan dari jalan cahaya di dalam tubus mikroskop,atau arah analisator diputar sampai sejajar dengan arah polarisator), sedang polarisator tetap dipasang pada tempatnya dengan arah getarannya sejajar dengan salah satu benang silang. Sifat-sifat optik yang dapat diamati dengan ortoskop tanpa nikol dibagi menjadi dua golongan sbb:
a. Sifat-sifat optik yang mempunyai hubungan tertentu dengan sumbu-sumbu kristalografi yaitu yang sejajar atau yang menyudut tertentu, misalnya: bentuk, belahan, dan pecahan. Semua sifat tersebut juga dapat diamati baik dengan mikroskop binokular yang tidak memakai cahaya yang terpolarisir, maupun pada contoh setangan dengan mata biasa.
b. Sifat optik yang mempunyai hubungan erat dengan sumbu-sumbu sinar/sumbu optik pada kristal yaitu misal: index bias, relief, warna, dan pleokroisme. Perlu diperhatikan bahwa kejadian-kejadian dari sifat-sifat tersebut yang nampak di bawah ortoskop pada posisi meja objek tertentu adalah kejadian dari sinar atau komponen sinar yang pada posisi tersebut bergetar searah dengan polarisator. Sifat-sifat ini harus diamati dengan cahaya terpolarisir.
Sifat lain yang dapat diamati pada pengamatan dengan mikroskop polarisasi tanpa nikol adalah ketembusan cahaya, kungkungan / inklusi dan ukuran mineral. Ketiga sifat ini juga dapat diamati dengan cahaya yang tidak terpolarisasi.
• Ketembusan Cahaya
Berdasar atas sifatnya terhadap cahaya, mineral dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu
mineral yang tembus cahaya ( transparent )
mineral tidak tembus cahaya sering disebut mineral opak atau mineral kedap cahaya.
Di bawah ortoskop semua mineral kedap cahaya tampak sebagai butiran yang gelap/hitam, baik yang diamati di dalam sayatan dengan menggunakan cahaya maksimal maupun yang biasa. Di bawah ortoskop semua mineral kedap cahaya tampak sebagai butiran yang gelap/hitam. Mineral – mineral sejenis ini harus dipelajari lebih lanjut dengan mikroskop pantulan.
Mineral tembus cahaya dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu mineral isotropik dan mineral anisotropic. Kedua golongan mineral teresbut hanya dapat diketahui secara pasti pada pengamatan dengan ortoskop nikol bersilang, walaupun pada pengamatan dengan ortoskop tanpa nikol akan berbeda juga kenampakannya. Zat yang isotropik mempunyai satu harga indeks bias saja, karena sinar yang berjalan ke segala arah memiliki kecepatan yang sama, maka semua sifat optik yang berhubungan dengan lintasan cahaya yang menembus kristal akan sama pada setiap arah. Demikian dengan mineral yang isotropik, walaupun meja objek diputar 360o, tetap tidak mengalami perubahan sifat. Sebaliknya mineral yang anisotropik dengan pemutaran meja objek akan memperlihatkan perubahan sifat optik.
• Inklusi
Pada kristal tertentu, selama proses kristalisasi sebagian material asing yang terkumpul pada permukaan pertumbuhannya (growing surface) akan terperangkap dalam kristal, dan seterusnya merupakan bagian dari kristal tersebut. Material tersebut dapat berupa kristal yang lebih kecil dari mineral yang berbeda jenisnya, atau berupa kotoran – kotoran ( impurities) pada magma, dapat juga sebagian dari magma yang masih berupa cair atau dalam keadaan gas. Kungkungan – kungkungan tersebut dapat dikenali di bawah mikroskop tanpa nikol apabila terdapat perbedaan antara bahan inklusi dengan kristal yang mengungkungnya, misalnya pada sifat ketembusan cahayanya, relief dan warnanya. Bidang batas antara inklusi dengan mineral yang mengungkungnya dapat bersifat seperti bidang batas kristal biasa.
• Ukuran mineral
Ukuran mineral dapat dinyatakan secara absolut dalam mm atau cm dan sebagainya. Pengukuran lebar dan panjang atau diameter mineral dapat dilakukan dengan bantuan lensa okuler yang berskala.
• Bentuk mineral
Pengamatan bentuk mineral dilakukan dengan melihat atau mengamati bidang batas/garis batas mineral tersebut. Hal yang perlu diperhatikan adalah apakah kristal tumbuh secara bebas di dalam media cair atau gas, ataukah pertumbuhan tersebut terhalang oleh butir-butir mineral yang tumbuh di sekitarnya, hal ini akan memberikan kenampakan bidang batas yang relatif berbeda.
- Apabila kristal tersebut dibatasi oleh bidang kristalnya sendiri secara keseluruhan maka kristal disebut mempunyai bentuk euhedral (gambar a).
- Apabila kristal tersebut dibatasi oleh hanya sebagian bidang kristalnya sendiri maka kristal disebut mempunyai bentuk subhedral (gambar b).
- Apabila kristal tersebut tidak dibatasi oleh bidang kristalnya sendiri secara keseluruhan maka kristal disebut mempunyai bentuk anhedral (gambar c).
Parameter lain untuk menyatakan bentuk adalah jumlah dan perbandingan panjang bidang-bidang batas kristal, terutama untuk kristal-kristal yang euhedral. Istilah yang sering digunakan antara lain: prismatik, tabular, granular, lathlike, fibrous, foliated, radiated, dan sebagainya. Untuk kristal yang dalam pertumbuhannya terhalang oleh kristal yang lain atau juga terhalang magma yang kental, sering menghasilkan bentuk “incipient crystals”.
• Belahan
Belahan dalam sayatan mineral bisa terlihat dalam bentuk garis-garis yang teratur sepanjang bidang belahannya, di mana kenampakannya bisa sangat baik, baik, buruk atau tidak ada. Dalam hal tertentu sebaiknya orientasi belahan inii ditentukan kedudukannya terhadap sumbu kristalnya. Belahan merupakan sifat fisik yang tetap pada satu jenis mineral yang menunjukkan sifat khas dari struktur atom di dalamnya.
• Pecahan
Pecahan atau fracture adalah kecenderungan dari suatu mineral untuk pecah dengan cara tertentu yang tidak dikontrol oleh struktur atom seperti halnya belahan. Jenis-jenis pecahan yang khas antara lain pecahan seperti gelas (subconchoidal fracture) pada kuarsa, pecahan memotong pada olivin, ortopiroksen dan nefelin.
• Indeks Bias dan Relief
Relief adalah ekspresi dari cahaya yang keluar dari suatu media kemudian masuk ke dalam media yang lain yang mempunyai harga indeks bias yang berbeda, sehingga cahaya tersebut mengalami pembiasan pada batas kontak kedua media tersebut. Semakin besar perbedaan harga indeks bias antara kedua media, maka semakin jelas bidang batas antara keduanya. Sebaliknya semakin kecil perbedaan harga indeks bias, maka kenampakan bidang batas antar mineral akan semakin kabur. Untuk mempermudah pengamatan relief di bawah ortoskop, maka sayatan mineral/batuan dilekatkan pada kaca dengan menggunakan media balsam kanada yang mempunyai relief nol (sebagai standar) dengan n = 1.537.
Dalam pengamatan dan penilaian relief mineral secara relatif, maka harga relief mineral harus dibandingkan dengan relief standar balsam kanada (n = 1.537) atau relief kuarsa (n = 1.544). setiap mineral yang mempunyai indeks bias kurang dari relief standar disebut memiliki relief negatif, sedangkan mineral yang memiliki indeks bias lebih besar dari standar disebut memiliki relief positif. Cara untuk membedakan jenis relief adalah dengan menggunakan metode garis Becke. Selain penilaian relief positif/negatif, harga relief suatu mineral juga dinilai berdasar tingkatan perbedaan harga indeks bias dengan n standar. Setiap mineral yang mempunyai n relatif dekat dengan n standar yaitu antara 1.545 – 1.599 maka disebut memiliki relief positif rendah.
• Warna dan pleokroisme
Warna yang tampak pada mikroskop polarisasi adalah warna yang dihasilkan oleh oleh sifat cahaya yang bergetar searah dengan arah polarisator. Pada mineral yang bersifat isotropik hanya terdapat satu warna saja yang tidak berubah sama sekali walaupun meja objek diputar, sedangkan pada mineral yang bersifat anisotropik, dapat terjadi dua atau tiga warna yang berbeda tergantung pada arah sayatan mana yang diamati.
Seluruh mineral yang menampakkan lebih dari satu warna disebut pleokroik, yang dicirikan oleh dua warna disebut dikroik, dan tiga warna disebut trikroik. Dengan demikian mineral yang isotropik selalu tidak mempunyai pleokroisme, mineral anisotropik sumbu satu akan memiliki pleokroisme dikroik (apabila disayat tidak tegak lurus sumbu optik) dan tanpa pleokroisme (apabila disayat tegak lurus sumbu optik), dan mineral anisotropik sumbu dua akan bersifat trikroik, dikroik, maupun tanpa pleokroisme, tergantung sudut sayatannya.
2.4. Pengamatan Mikroskopik dengan Nikol Bersilang
Dengan ortoskop nikol bersilang dapat dipelajari sifat – sifat optik hasil dari semua kejadian pada cahaya selama perjalanannya, pertama – tama melalui polarisator kemudia melalui peraga dan akhirnya melalui analisator. ). Sifat yang dapat diamati adalah sifat optik yang berhubungan dengan kedudukan dan jumlah sumbu optik. Sifat optik yang diamati antara lain warna interferensi, gelapan dan kedudukan gelapan serta kembaran.
• Warna Interferensi
Warna interferensi adalah sifat optik yang sangat penting, namun penjelasannya cukup rumit, sehingga kita harus memahami konsep dasarnya secara bertahap.
Pada posisi sumbu sinar sembarang terhadap arah getar polarisator inilah, komponen sinar lambat dan cepat tidak diserap oleh analisator, sehingga dapat diteruskan hingga mata pengamat. Karena perbedaan kecepatan rambat sinar cepat dan lambat inilah, maka terjadi yang disebut sebagai beda fase atau retardasi. Semakin besar selisih indeks bias, semakin besar beda fase/retardasinya.
Warna interferensi dapat ditentukan dengan memutar meja objek yang terdapat sayatan mineral hingga diperoleh terang maksimal. Warna terang tersebut dicocokkan dengan tabel interferensi Michel – Levy Chart.
• Tanda rentang optik
Tanda rentang optik adalah istilah untuk menunjukkan hubungan antara sumbu kristalografi (terutama arah memanjangnya kristal) dengan sumbu sinar cepat (x) dan lambat (z).
Tujuannya adalah menentukan sumbu sinar mana (x atau z) yang kedudukannya berimpit atau dekat (menyudut lancip) dengan sumbu panjang kristal. Dengan demikian, TRO hanya dimiliki oleh mineral yang memiliki belahan satu arah atau arah memanjangnya mineral (sumbu c). Jenis tanda rentang optik yaitu :
- Length slow (+) = sumbu c berimpit /menyudut lancip dengan arah getar sinar lambat (sumbu z). Keadaan ini dinamakan addisi yaitu penambahan orde warna interferensi pada saat kompensator digunakan.
- Length fast (-) = sumbu c berimpit/menyudut lancip dengan arah getar sinar cepat (sumbu x). Keadaan ini dinamakan substraksi yaitu pengurangan orde warna interferensi pada saat kompensator digunakan.
o Kembaran
Selama pertumbuhan kristal atau pada kondisi tekanan dan temperatur tinggi, dua atau lebih kristal intergrown dapat terbentuk secara simetri. Simetri intergrown inilah yang dikenal sebagai kembaran.
Kembaran hanya dapat diamati pada nikol bersilang karena kedudukan kisi pada dua lembar kembaran yang berdampingan saling berlawanan, sehingga kedudukan gelapan dan warna interferensi maksimalnya berlainan. Secara genesa, kembaran dapat terbentuk dalam tiga proses yang berbeda yaitu kembaran tumbuh, transformasi, dan deformasi
1. Kembaran tumbuh/Growth Twins
Kembaran ini terbentuk bersamaan pada saat kristalisasi atau pertumbuhan kristal, di mana dua unit kristal berbagi dan tumbuh dari satu kisi yang sama dengan orientasi berlawananJenis kembaran ini terbagi atas kembaran kontak dan kembaran penetrasi. Contoh jenis kembaran ini adalah kembaran carlsbad pada ortoklas dan kembaran albit pada plagioklas.
2. Kembaran transformasi
Kembaran ini dapat terjadi karena kristal mengalami transformasi karena perubahan P dan T terutama karena perubahan T. Hal ini hanya dapat terjadi pada kristal yang mempunyai struktur dan simetri yang berbeda pada kondisi P dan T yang berbeda. Pada saat P&T berubah, bagian tertentu dari kristal ada yang stabil ada yang mengalami perubahan orientasi kisi, sehingga terjadi perbedaan orientasi pada bagian berbeda dari kristal. Contoh: kembaran dauphin dan kembaran brazil pada kuarsa terbentuk karena penurunan T. Contoh lain adalah kembaran periklin yang terjadi pada saat sanidin (monoklin, high T) berubah menjadi mikroklin (triklin, low T).
3. Kembaran Deformasi/Deformation Twins
Kembaran ini terjadi setelah kristalisasi, pada saat kristal telah padat. Karena deformasi (perubahan P) atom pada kristal dapat terdorong dari posisi semula. Apabila perubahan posisi ini terjadi pada susunan yang simetri, akan menghasilkan kembaran. Contoh kembaran jenis ini adalah polisintetik pada kalsit.
• Gelapan dan kedudukan gelapan
Pada pengamatan nikol bersilang, gelapan (keadaan di mana mineral gelap maksimal) dapat terjadi karena tidak ada cahaya yang diteruskan oleh analisator hingga mata pengamat. Pada zat anisotropik syarat terjadinya gelapan adalah kedudukan sumbu sinar berimpit dengan arah getar polarisator dan/atau analisator. Sumbu sinar = sinar cepat (x) dan sinar lambat (z). Sehingga dalam putaran 360o akan ada empat kedudukan gelapan. Sebaliknya kedudukan terang maksimal (warna interferensi maksimal) terjadi pada saat sumbu sinar membuat sudut 45o terhadap arah getar PP dan AA.
- Gelapan sejajar/paralel
Kedudukan gelapan di mana sumbu panjang kristal (sumbu c) sejajar dengan arah getar PP dan/atau AA. Sehingga dapat dikatakan sumbu optik berimpit dengan sumbu kristalografi.
- Gelapan miring
Kedudukan gelapan di mana sumbu panjang kristal (sumbu c) menyudut terhadap arah getar PP dan/atau AA. Sehingga dapat dikatakan sumbu optik menyudut terhadap sumbu kristalografi
- Gelapan bergelombang
Terjadi pada mineral yang mengalami tegangan/distorsi sehingga orientasi sebagian kisi kristal mengalami perubahan berangsur, dan kedudukan gelapan masing2 bagian agak berbeda.
- Gelapan bintik/mottled extinction
Umumnya terjadi pada mineral silikat berlapis (mika), hal ini terjadi karena perubahan orientasi kisi kristal secara lokal, sehingga tidak seluruh bagian kristal sumbu sinarnya berorientasi sama.
Pengaturan yang paling penting adalah memusatkan perputaran meja objek/centering, pengaturan arah getaran polarisator sejajar dengan salah satu benang silang, dan pengaturan arah getar analisator agar tegak lurus arah getar polarisator.
Centering penting dilakukan agar pada saat pengamatan dengan menggunakan perputaran meja objek, mineral yang kita amati tetap berada pada medan pandangan (tidak keluar dari medan pandangan).
Pengaturan arah getar polarisator harus dilakukan agar kita tahu persis arah getaran sinar biasa dan luar biasa yang diteruskan oleh polarisator searah dengan salah satu arah benang silang, apakah benang tegak (N-S) atau benang horisontal (E-W), sehingga memudahkan dalam penentuan sifat-sifat optik yang berhubungan dengan sumbu-sumbu kristalografi dan sumbu-sumbu sinarnya.
Pengaturan arah getar analisator harus dilakukan agar benar-benar tegak lurus arah getar polarisator, caranya adalah dengan memasang kedua bagian tanpa menggunakan peraga. Apabila arah getar kedua nikol sudah saling tegak lurus (membentuk sudut 90o) maka yang teramati pada okuler adalah keadaan gelap sama sekali karena cahaya yang tadinya terpilih oleh polarisator sehingga hanya yang bergetar pada satu arah saja kemudian terserap oleh analisator seluruhnya. Dengan demikian apabila kenampakannya belum gelap sama sekali, berarti kedudukan analisator belum tegak lurus polarisator dan harus memutar analisator hingga kedudukan gelap maksimum.
2.3 Pengamatan Mikroskopik dengan Ortoskop tanpa Nikol
Pengamatan mikroskop polarisasi tanpa nikol dalam praktek diartikan bahwa analisator tidak dipergunakan (berarti analisator dikeluarkan dari jalan cahaya di dalam tubus mikroskop,atau arah analisator diputar sampai sejajar dengan arah polarisator), sedang polarisator tetap dipasang pada tempatnya dengan arah getarannya sejajar dengan salah satu benang silang. Sifat-sifat optik yang dapat diamati dengan ortoskop tanpa nikol dibagi menjadi dua golongan sbb:
a. Sifat-sifat optik yang mempunyai hubungan tertentu dengan sumbu-sumbu kristalografi yaitu yang sejajar atau yang menyudut tertentu, misalnya: bentuk, belahan, dan pecahan. Semua sifat tersebut juga dapat diamati baik dengan mikroskop binokular yang tidak memakai cahaya yang terpolarisir, maupun pada contoh setangan dengan mata biasa.
b. Sifat optik yang mempunyai hubungan erat dengan sumbu-sumbu sinar/sumbu optik pada kristal yaitu misal: index bias, relief, warna, dan pleokroisme. Perlu diperhatikan bahwa kejadian-kejadian dari sifat-sifat tersebut yang nampak di bawah ortoskop pada posisi meja objek tertentu adalah kejadian dari sinar atau komponen sinar yang pada posisi tersebut bergetar searah dengan polarisator. Sifat-sifat ini harus diamati dengan cahaya terpolarisir.
Sifat lain yang dapat diamati pada pengamatan dengan mikroskop polarisasi tanpa nikol adalah ketembusan cahaya, kungkungan / inklusi dan ukuran mineral. Ketiga sifat ini juga dapat diamati dengan cahaya yang tidak terpolarisasi.
• Ketembusan Cahaya
Berdasar atas sifatnya terhadap cahaya, mineral dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu
mineral yang tembus cahaya ( transparent )
mineral tidak tembus cahaya sering disebut mineral opak atau mineral kedap cahaya.
Di bawah ortoskop semua mineral kedap cahaya tampak sebagai butiran yang gelap/hitam, baik yang diamati di dalam sayatan dengan menggunakan cahaya maksimal maupun yang biasa. Di bawah ortoskop semua mineral kedap cahaya tampak sebagai butiran yang gelap/hitam. Mineral – mineral sejenis ini harus dipelajari lebih lanjut dengan mikroskop pantulan.
Mineral tembus cahaya dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu mineral isotropik dan mineral anisotropic. Kedua golongan mineral teresbut hanya dapat diketahui secara pasti pada pengamatan dengan ortoskop nikol bersilang, walaupun pada pengamatan dengan ortoskop tanpa nikol akan berbeda juga kenampakannya. Zat yang isotropik mempunyai satu harga indeks bias saja, karena sinar yang berjalan ke segala arah memiliki kecepatan yang sama, maka semua sifat optik yang berhubungan dengan lintasan cahaya yang menembus kristal akan sama pada setiap arah. Demikian dengan mineral yang isotropik, walaupun meja objek diputar 360o, tetap tidak mengalami perubahan sifat. Sebaliknya mineral yang anisotropik dengan pemutaran meja objek akan memperlihatkan perubahan sifat optik.
• Inklusi
Pada kristal tertentu, selama proses kristalisasi sebagian material asing yang terkumpul pada permukaan pertumbuhannya (growing surface) akan terperangkap dalam kristal, dan seterusnya merupakan bagian dari kristal tersebut. Material tersebut dapat berupa kristal yang lebih kecil dari mineral yang berbeda jenisnya, atau berupa kotoran – kotoran ( impurities) pada magma, dapat juga sebagian dari magma yang masih berupa cair atau dalam keadaan gas. Kungkungan – kungkungan tersebut dapat dikenali di bawah mikroskop tanpa nikol apabila terdapat perbedaan antara bahan inklusi dengan kristal yang mengungkungnya, misalnya pada sifat ketembusan cahayanya, relief dan warnanya. Bidang batas antara inklusi dengan mineral yang mengungkungnya dapat bersifat seperti bidang batas kristal biasa.
• Ukuran mineral
Ukuran mineral dapat dinyatakan secara absolut dalam mm atau cm dan sebagainya. Pengukuran lebar dan panjang atau diameter mineral dapat dilakukan dengan bantuan lensa okuler yang berskala.
• Bentuk mineral
Pengamatan bentuk mineral dilakukan dengan melihat atau mengamati bidang batas/garis batas mineral tersebut. Hal yang perlu diperhatikan adalah apakah kristal tumbuh secara bebas di dalam media cair atau gas, ataukah pertumbuhan tersebut terhalang oleh butir-butir mineral yang tumbuh di sekitarnya, hal ini akan memberikan kenampakan bidang batas yang relatif berbeda.
- Apabila kristal tersebut dibatasi oleh bidang kristalnya sendiri secara keseluruhan maka kristal disebut mempunyai bentuk euhedral (gambar a).
- Apabila kristal tersebut dibatasi oleh hanya sebagian bidang kristalnya sendiri maka kristal disebut mempunyai bentuk subhedral (gambar b).
- Apabila kristal tersebut tidak dibatasi oleh bidang kristalnya sendiri secara keseluruhan maka kristal disebut mempunyai bentuk anhedral (gambar c).
Parameter lain untuk menyatakan bentuk adalah jumlah dan perbandingan panjang bidang-bidang batas kristal, terutama untuk kristal-kristal yang euhedral. Istilah yang sering digunakan antara lain: prismatik, tabular, granular, lathlike, fibrous, foliated, radiated, dan sebagainya. Untuk kristal yang dalam pertumbuhannya terhalang oleh kristal yang lain atau juga terhalang magma yang kental, sering menghasilkan bentuk “incipient crystals”.
• Belahan
Belahan dalam sayatan mineral bisa terlihat dalam bentuk garis-garis yang teratur sepanjang bidang belahannya, di mana kenampakannya bisa sangat baik, baik, buruk atau tidak ada. Dalam hal tertentu sebaiknya orientasi belahan inii ditentukan kedudukannya terhadap sumbu kristalnya. Belahan merupakan sifat fisik yang tetap pada satu jenis mineral yang menunjukkan sifat khas dari struktur atom di dalamnya.
• Pecahan
Pecahan atau fracture adalah kecenderungan dari suatu mineral untuk pecah dengan cara tertentu yang tidak dikontrol oleh struktur atom seperti halnya belahan. Jenis-jenis pecahan yang khas antara lain pecahan seperti gelas (subconchoidal fracture) pada kuarsa, pecahan memotong pada olivin, ortopiroksen dan nefelin.
• Indeks Bias dan Relief
Relief adalah ekspresi dari cahaya yang keluar dari suatu media kemudian masuk ke dalam media yang lain yang mempunyai harga indeks bias yang berbeda, sehingga cahaya tersebut mengalami pembiasan pada batas kontak kedua media tersebut. Semakin besar perbedaan harga indeks bias antara kedua media, maka semakin jelas bidang batas antara keduanya. Sebaliknya semakin kecil perbedaan harga indeks bias, maka kenampakan bidang batas antar mineral akan semakin kabur. Untuk mempermudah pengamatan relief di bawah ortoskop, maka sayatan mineral/batuan dilekatkan pada kaca dengan menggunakan media balsam kanada yang mempunyai relief nol (sebagai standar) dengan n = 1.537.
Dalam pengamatan dan penilaian relief mineral secara relatif, maka harga relief mineral harus dibandingkan dengan relief standar balsam kanada (n = 1.537) atau relief kuarsa (n = 1.544). setiap mineral yang mempunyai indeks bias kurang dari relief standar disebut memiliki relief negatif, sedangkan mineral yang memiliki indeks bias lebih besar dari standar disebut memiliki relief positif. Cara untuk membedakan jenis relief adalah dengan menggunakan metode garis Becke. Selain penilaian relief positif/negatif, harga relief suatu mineral juga dinilai berdasar tingkatan perbedaan harga indeks bias dengan n standar. Setiap mineral yang mempunyai n relatif dekat dengan n standar yaitu antara 1.545 – 1.599 maka disebut memiliki relief positif rendah.
• Warna dan pleokroisme
Warna yang tampak pada mikroskop polarisasi adalah warna yang dihasilkan oleh oleh sifat cahaya yang bergetar searah dengan arah polarisator. Pada mineral yang bersifat isotropik hanya terdapat satu warna saja yang tidak berubah sama sekali walaupun meja objek diputar, sedangkan pada mineral yang bersifat anisotropik, dapat terjadi dua atau tiga warna yang berbeda tergantung pada arah sayatan mana yang diamati.
Seluruh mineral yang menampakkan lebih dari satu warna disebut pleokroik, yang dicirikan oleh dua warna disebut dikroik, dan tiga warna disebut trikroik. Dengan demikian mineral yang isotropik selalu tidak mempunyai pleokroisme, mineral anisotropik sumbu satu akan memiliki pleokroisme dikroik (apabila disayat tidak tegak lurus sumbu optik) dan tanpa pleokroisme (apabila disayat tegak lurus sumbu optik), dan mineral anisotropik sumbu dua akan bersifat trikroik, dikroik, maupun tanpa pleokroisme, tergantung sudut sayatannya.
2.4. Pengamatan Mikroskopik dengan Nikol Bersilang
Dengan ortoskop nikol bersilang dapat dipelajari sifat – sifat optik hasil dari semua kejadian pada cahaya selama perjalanannya, pertama – tama melalui polarisator kemudia melalui peraga dan akhirnya melalui analisator. ). Sifat yang dapat diamati adalah sifat optik yang berhubungan dengan kedudukan dan jumlah sumbu optik. Sifat optik yang diamati antara lain warna interferensi, gelapan dan kedudukan gelapan serta kembaran.
• Warna Interferensi
Warna interferensi adalah sifat optik yang sangat penting, namun penjelasannya cukup rumit, sehingga kita harus memahami konsep dasarnya secara bertahap.
Pada posisi sumbu sinar sembarang terhadap arah getar polarisator inilah, komponen sinar lambat dan cepat tidak diserap oleh analisator, sehingga dapat diteruskan hingga mata pengamat. Karena perbedaan kecepatan rambat sinar cepat dan lambat inilah, maka terjadi yang disebut sebagai beda fase atau retardasi. Semakin besar selisih indeks bias, semakin besar beda fase/retardasinya.
Warna interferensi dapat ditentukan dengan memutar meja objek yang terdapat sayatan mineral hingga diperoleh terang maksimal. Warna terang tersebut dicocokkan dengan tabel interferensi Michel – Levy Chart.
• Tanda rentang optik
Tanda rentang optik adalah istilah untuk menunjukkan hubungan antara sumbu kristalografi (terutama arah memanjangnya kristal) dengan sumbu sinar cepat (x) dan lambat (z).
Tujuannya adalah menentukan sumbu sinar mana (x atau z) yang kedudukannya berimpit atau dekat (menyudut lancip) dengan sumbu panjang kristal. Dengan demikian, TRO hanya dimiliki oleh mineral yang memiliki belahan satu arah atau arah memanjangnya mineral (sumbu c). Jenis tanda rentang optik yaitu :
- Length slow (+) = sumbu c berimpit /menyudut lancip dengan arah getar sinar lambat (sumbu z). Keadaan ini dinamakan addisi yaitu penambahan orde warna interferensi pada saat kompensator digunakan.
- Length fast (-) = sumbu c berimpit/menyudut lancip dengan arah getar sinar cepat (sumbu x). Keadaan ini dinamakan substraksi yaitu pengurangan orde warna interferensi pada saat kompensator digunakan.
o Kembaran
Selama pertumbuhan kristal atau pada kondisi tekanan dan temperatur tinggi, dua atau lebih kristal intergrown dapat terbentuk secara simetri. Simetri intergrown inilah yang dikenal sebagai kembaran.
Kembaran hanya dapat diamati pada nikol bersilang karena kedudukan kisi pada dua lembar kembaran yang berdampingan saling berlawanan, sehingga kedudukan gelapan dan warna interferensi maksimalnya berlainan. Secara genesa, kembaran dapat terbentuk dalam tiga proses yang berbeda yaitu kembaran tumbuh, transformasi, dan deformasi
1. Kembaran tumbuh/Growth Twins
Kembaran ini terbentuk bersamaan pada saat kristalisasi atau pertumbuhan kristal, di mana dua unit kristal berbagi dan tumbuh dari satu kisi yang sama dengan orientasi berlawananJenis kembaran ini terbagi atas kembaran kontak dan kembaran penetrasi. Contoh jenis kembaran ini adalah kembaran carlsbad pada ortoklas dan kembaran albit pada plagioklas.
2. Kembaran transformasi
Kembaran ini dapat terjadi karena kristal mengalami transformasi karena perubahan P dan T terutama karena perubahan T. Hal ini hanya dapat terjadi pada kristal yang mempunyai struktur dan simetri yang berbeda pada kondisi P dan T yang berbeda. Pada saat P&T berubah, bagian tertentu dari kristal ada yang stabil ada yang mengalami perubahan orientasi kisi, sehingga terjadi perbedaan orientasi pada bagian berbeda dari kristal. Contoh: kembaran dauphin dan kembaran brazil pada kuarsa terbentuk karena penurunan T. Contoh lain adalah kembaran periklin yang terjadi pada saat sanidin (monoklin, high T) berubah menjadi mikroklin (triklin, low T).
3. Kembaran Deformasi/Deformation Twins
Kembaran ini terjadi setelah kristalisasi, pada saat kristal telah padat. Karena deformasi (perubahan P) atom pada kristal dapat terdorong dari posisi semula. Apabila perubahan posisi ini terjadi pada susunan yang simetri, akan menghasilkan kembaran. Contoh kembaran jenis ini adalah polisintetik pada kalsit.
• Gelapan dan kedudukan gelapan
Pada pengamatan nikol bersilang, gelapan (keadaan di mana mineral gelap maksimal) dapat terjadi karena tidak ada cahaya yang diteruskan oleh analisator hingga mata pengamat. Pada zat anisotropik syarat terjadinya gelapan adalah kedudukan sumbu sinar berimpit dengan arah getar polarisator dan/atau analisator. Sumbu sinar = sinar cepat (x) dan sinar lambat (z). Sehingga dalam putaran 360o akan ada empat kedudukan gelapan. Sebaliknya kedudukan terang maksimal (warna interferensi maksimal) terjadi pada saat sumbu sinar membuat sudut 45o terhadap arah getar PP dan AA.
- Gelapan sejajar/paralel
Kedudukan gelapan di mana sumbu panjang kristal (sumbu c) sejajar dengan arah getar PP dan/atau AA. Sehingga dapat dikatakan sumbu optik berimpit dengan sumbu kristalografi.
- Gelapan miring
Kedudukan gelapan di mana sumbu panjang kristal (sumbu c) menyudut terhadap arah getar PP dan/atau AA. Sehingga dapat dikatakan sumbu optik menyudut terhadap sumbu kristalografi
- Gelapan bergelombang
Terjadi pada mineral yang mengalami tegangan/distorsi sehingga orientasi sebagian kisi kristal mengalami perubahan berangsur, dan kedudukan gelapan masing2 bagian agak berbeda.
- Gelapan bintik/mottled extinction
Umumnya terjadi pada mineral silikat berlapis (mika), hal ini terjadi karena perubahan orientasi kisi kristal secara lokal, sehingga tidak seluruh bagian kristal sumbu sinarnya berorientasi sama.
Kamis, 04 Juni 2009
tanah di indonesia
Indonesia adalah negara kepulauan dengan daratan yang luas dengan jenis tanah yang berbeda-beda. Berikut ini adalah macam-macam / jenis-jenis tanah yang ada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
1. Tanah Humus
Tanah humus adalah tanah yang sangat subur terbentuk dari lapukan daun dan batang pohon di hutan hujan tropis yang lebat.
2. Tanah Pasir
Tanah pasir adalah tanah yang bersifat kurang baik bagi pertanian yang terbentuk dari batuan beku serta batuan sedimen yang memiliki butir kasar dan berkerikil.
3. Tanah Alluvial / Tanah Endapan
Tanah aluvial adalah tanah yang dibentuk dari lumpur sungai yang mengendap di dataran rendah yang memiliki sifat tanah yang subur dan cocok untuk lahan pertanian.
4. Tanah Podzolit
Tanah podzolit adalah tanah subur yang umumnya berada di pegunungan dengan curah hujan yang tinggi dan bersuhu rendah / dingin.
5. Tanah Vulkanik / Tanah Gunung Berapi
Tanah vulkanis adalah tanah yang terbentuk dari lapukan materi letusan gunung berapi yang subur mengandung zat hara yang tinggi. Jenis tanah vulkanik dapat dijumpai di sekitar lereng gunung berapi.
6. Tanah Laterit
Tanah laterit adalah tanah tidak subur yang tadinya subur dan kaya akan unsur hara, namun unsur hara tersebut hilang karena larut dibawa oleh air hujan yang tinggi. Contoh : Kalimantan Barat dan Lampung.
7. Tanah Mediteran / Tanah Kapur
Tanah mediteran adalah tanah sifatnya tidak subur yang terbentuk dari pelapukan batuan yang kapur. Contoh : Nusa Tenggara, Maluku, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
8. Tanah Gambut / Tanah Organosol
Tanah organosol adalah jenis tanah yang kurang subur untuk bercocok tanam yang merupakan hasil bentukan pelapukan tumbuhan rawa. Contoh : rawa Kalimantan, Papua dan Sumatera.
1. Tanah Humus
Tanah humus adalah tanah yang sangat subur terbentuk dari lapukan daun dan batang pohon di hutan hujan tropis yang lebat.
2. Tanah Pasir
Tanah pasir adalah tanah yang bersifat kurang baik bagi pertanian yang terbentuk dari batuan beku serta batuan sedimen yang memiliki butir kasar dan berkerikil.
3. Tanah Alluvial / Tanah Endapan
Tanah aluvial adalah tanah yang dibentuk dari lumpur sungai yang mengendap di dataran rendah yang memiliki sifat tanah yang subur dan cocok untuk lahan pertanian.
4. Tanah Podzolit
Tanah podzolit adalah tanah subur yang umumnya berada di pegunungan dengan curah hujan yang tinggi dan bersuhu rendah / dingin.
5. Tanah Vulkanik / Tanah Gunung Berapi
Tanah vulkanis adalah tanah yang terbentuk dari lapukan materi letusan gunung berapi yang subur mengandung zat hara yang tinggi. Jenis tanah vulkanik dapat dijumpai di sekitar lereng gunung berapi.
6. Tanah Laterit
Tanah laterit adalah tanah tidak subur yang tadinya subur dan kaya akan unsur hara, namun unsur hara tersebut hilang karena larut dibawa oleh air hujan yang tinggi. Contoh : Kalimantan Barat dan Lampung.
7. Tanah Mediteran / Tanah Kapur
Tanah mediteran adalah tanah sifatnya tidak subur yang terbentuk dari pelapukan batuan yang kapur. Contoh : Nusa Tenggara, Maluku, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
8. Tanah Gambut / Tanah Organosol
Tanah organosol adalah jenis tanah yang kurang subur untuk bercocok tanam yang merupakan hasil bentukan pelapukan tumbuhan rawa. Contoh : rawa Kalimantan, Papua dan Sumatera.
Langganan:
Postingan (Atom)