PENDAHULUAN
Ulasan singkat
tentang tektonik dan sedimentasi Pulau Jawa ini dimaksudkan untuk memberi bekal
latarbelakang geologi yang bersifat regional kepada para peserta ekskursi.
Ulasan ini diharapkan membantu para peserta dalam memahami gejala-gejala
geologi yang ditemui selama ekskursi dan kaitan atau implikasinya dengan
geologi regional. Waktu ekskursi yang singkat dan meliputi daerah yang terbatas
tidak memungkinkan untuk melakukan pendalaman geologi secara intensif namun
berdasarkan lokasi-lokasi pengamatan yang telah diseleksi dan didukung dengan
pemahaman akan geologi regional diharapkan ekskursi ini dapat memenuhi tujuan
yang diharapkan.
KERANGKA TEKTONIK PULAU JAWA
Fisiografi dan
konfigurasi tektonik Kepulauan Indonesia masa kini yang komplek merupakan hasil
interaksi sejak Neogen tiga lempeng litosfer utama: Lempeng Laut Filipina (Philippine Sea plate) yang bergerak (10
cm/th) kearah NNW; Lempeng Indo-Australia (Indo-Australian
plate) yang bergerak (8 cm/th) ke arah NNE, dan Lempeng Erasia (Eurasian plate) yang stasioner,
bergerak jauh lebih lambat ke arah SE (4 cm/th) (Gambar 1). Berdasarkan karakteristik geologi dan geofisika,
Simandjuntak & Barber (1996) membagi wilayah Kepulauan Indonesia menjadi 5
wilayah: (1) Wilayah tenggara Lempeng Erasia yang membentuk wilayah craton kontinental Daratan Sunda (Sundaland) yang meliputi Sumatra, Jawa
Barat, dan Kalimantan Barat; (2) Wilayah lempeng samudera Laut Filipina di
timurlaut; (3) Wilayah craton benua
Australia, ke utara meliputi Irian Jaya dan Paparan Arafura dan Sahul; (4)
Wilayah Lempeng Samudera Hindia; dan (5) Wilayah zona transisi yang menandai
zona interaksi lempeng masa kini dengan seismisitas yang aktif dan volkanisme
mulai dari bagian barat Sumatra, Jawa, Kepulauan Nusa Tenggara dan Banda, Utara
Irian melalui Sulawesi dan Maluku, ke arah utara ke Kepulauan Filipina. Di zona
ini subduksi lempeng tetap aktif serta dicirikan oleh lempeng-lempeng
mikrokontinen yang membentuk zona-zona tumbukan.
Interaksi
lempeng-lempeng yang membentuk Kepulauan Indonesia menghasilkan berbagai tipe
jalur orogen (orogenic belts).
Simandjuntak & Barber (1996) mengenali enam tipe jalur orogen (Gambar 2):
Gambar 1:
Kerangka tektonik wilayah Kepulauan Indonesia (Simandjuntak & Barber,
1996).
Gambar 2:
Tipe-tipe jalur orogen Neogen Indonesia (Simandjuntak & Barber, 1996).
- Orogen
Sunda (Sunda Orogeny) di Jawa
dan Nusa Tenggara: melibatkan subduksi lempeng samudera dengan arah
tegaklurus, menghasilkan jalur orogen tipe Andean beserta palung, komplek akresi, cekungan depan-busur (forearc basin), busur magmatik
dimana gunungapi tumbuh di tepi kontinen Sundaland.
- Orogen
Barisan (Barisan Orogeny) di
Sumatra: dengan arah konvergen miring (oblique
convergence) sehingga menghasilkan sistem sesar mendatar Sumatra pada
busur magmatiknya, dan sepanjang sesar ini pula suatu segmen kerak
kontinen bergerak ke arah utara di sepanjang bagian barat Sundaland.
- Orogen
Talaud (Talaud Orogeny) di
bagian utara Laut Maluku: konvergensi busur magmatik oceanic Sangihe dan Halmahera dengan Lempeng Laut Maluku.
- Orogen
Sulawesi (Sulawesi Orogeny) di
Sulawesi timur: tumbukan blok-blok mikrokontinen dengan sistem subduksi di
sepanjang tepi timur Sundaland.
- Orogen
Banda (Banda Orogeny) di
Kepulauan Banda, di wilayah antara Pulau Sumba dan Tanimbar: tumbukan
antara tepi utara kontinen Australia dengan sistem subduksi di sepanjang
bagian selatan Busur Banda.
- Orogen
Melanesia (Melanesian Orogeny) di
Pulau Papua: suatu tahapan lebih lanjut tumbukan tepi utara kontinen Australia
dengan busur magmatik pada Lempeng Laut Filipina yang dimulai pada Miosen
Awal.
Aktifitas
orogen di sebagian besar jalur-jalur orogen ini dimulai pada kala Miosen Tengah
dan proses orogenik masih tetap berlangsung sampai sekarang.
Pembagian
Kepulauan Indonesia menjadi 6 tipe jalur orogen di atas menunjukkan Pulau Jawa
merupakan pulau utama yang penting di Indonesia bagian barat disamping Pulau Sumatra
dan Kalimantan. Memahami perkembangan tektonik Pulau Jawa berarti mengetahui
bagian utama dari tektonik Indonesia bagian barat. Tataan tektonik Pulau Jawa
menunjukkan ciri khas produk interaksi konvergen antara lempeng samudera dan lempeng
benua. Lempeng samuderanya adalah
lempeng Indo-Australia yang bergerak ke utara dan menunjam di bawah lempeng
benuanya yakni lempeng Eurasia yang relatif stabil dan disini diwakili oleh paparan Sunda. Pertemuan
lempeng ini menghasilkan busur volkanik busur
(volcanic arc) dan jalur
penunjaman (subduction zone), atau
palung (trench), dan telah berlangsung sejak zaman akhir Kapur
– Paleosen (100-52 juta tahun).
Pulau Jawa seperti yang tampak sekarang mencerminkan kondisi geologi
masa kini dan geologi Neogen (Gambar 3), meskipun
demikian jejak kondisi geologi yang lebih tua masih dapat ditelusuri berdasarkan
singkapan-singkapan batuan Pra-Tersier dan Paleogen ditempat-tempat tertentu di
Pulau Jawa seperti di Ciletuh (Jawa Barat), Karangsambung, Bayat, dan Nanggulan
(Jawa Tengah). Singkapan batuan Pra-Tersier, seperti yang ditunjukkan oleh singkapan batuan kompleks melange (batuan bancuh atau campur aduk)
Luk Ulo-Karangsambung dan kompleks batuan metamorf Bayat dan berlanjut ke arah
Pegunungan Meratus di ujung tenggara Kalimantan, merupakan bagian dari lajur
konvergensi lempeng berumur Kapur Akhir-Paleosen (Asikin, 1974; Hamilton, 1979;
Suparka, 1988; Parkinson et al., 1998) (Gambar
4). Sementara itu terdapatnya jalur magmatik Oligo-Miosen (atau OAF= Old Andesite Formation, Van Bemmlen,
1949) berarah T-B di sepanjang bagian selatan Pulau Jawa menunjukkan adanya
sistem subduksi lempeng Tersier yang lebih muda (Soeria-Atmadja et al., 1994) (Gambar 5). Dari sini dapat disimpulkan
bahwa selama Paleogen, yakni sejak Paleosen sampai Oligosen, terjadi evolusi
geologi yang cukup signifikan, terutama di wilayah Jawa Tengah-Jawa Timur,
ditandai dengan berubahnya arah lajur subduksi yang pada zaman Kapur
Akhir-Paleosen berarah TL-BD menjadi T-B pada zaman Tersier (Gambar 6).
STRUKTUR REGIONAL PULAU JAWA
Jalur
penunjaman Kapur-Paleosen yang ditunjukkan
oleh singkapan batuan Komplek Melange Luk Ulo-Karangsambung (Asikin,
1974; Hamilton, 1979; Suparka, 1988; Parkinson et al., 1998) mempunyai arah
umum struktur TL-BD yang mengarah ke arah Pegunungan Meratus di ujung tenggara
Kalimantan. Pulunggono dan Martodjojo (1994) mengenali tiga arah
struktur utama di Pulau Jawa: Arah timurlaut-baratdaya atau Pola Meratus, arah
utara-selatan atau Pola Sunda, dan arah
timur-barat atau Pola Jawa
(Gambar 7). Disamping tiga
arah struktur utama ini, masih terdapat satu arah struktur utama lagi, yakni
arah baratlaut-tenggara yang disebut Pola Sumatra (Satyana, 2007). Pola
Meratus dominan di kawasan lepas pantai
utara, ditunjukkan oleh tinggian-tinggian Karimunjawa, Bawean, Masalembo dan
Pulau Laut (Guntoro, 1996). Di Pulau
Jawa arah ini terutama ditunjukkan oleh pola struktur batuan Pra-Tersier di
daerah Luk Ulo, Kebumen Jawa Tengah.
Pola Sunda yang berarah utara-selatan umum terdapat di lepas pantai
utara Jawa Barat dan di daratan di bagian barat wilayah Jawa Barat. Arah ini
tidak nampak di bagian timur pola Meratus. Pola Jawa yang berarah timur-barat
merupakan pola yang mendominasi daratan Pulau Jawa, baik struktur sesar maupun
struktur lipatannya. Di Jawa Barat pola ini diwakili oleh Sesar Baribis, serta
sesar sungkup dan lipatan di dalam Zona Bogor. Di Jawa Tengah sesar sungkup dan
lipatan di Zona Serayu Utara dan Serayu
Selatan mempunyai arah hampir barat-timur. Di Jawa Timur pola ini ditunjukkan
oleh sesar-sesar sungkup dan lipatan di Zona Kendeng. Struktur Arah Sumatra
terutama terdapat di wilayah Jawa Barat dan di Jawa Tengah bagian timur
struktur ini sudah tidak nampak lagi. Struktur arah barat-timur atau Arah Jawa,
di cekungan Jawa Timur ternyata ada yang lebih tua dari Miosen Awal, dan disebut
Arah Sakala (Sribudiyani et al., 2003). Struktur Arah Sakala yang utama adalah
zona sesar RMKS (Rembang-Madura-Kangean-Sakala) dan merupakan struktur yang
menginversi cekungan berisi Formasi Pra-Ngimbang yang berumur Paleosen sampai
Eosen Awal sebagai endapan tertua. Sebagian besar batuan tertua di Jawa, yakni
yang berumur Pra-Tersier sampai Paleogen dan dianggap sebagai batuandasar Pulau
Jawa, tersingkap di
wilayah Jawa
Gambar 3:
Kerangka tektonik Pulau Jawa (modifikasi dari Baumann,
1982; dan Simandjuntak
dan Barber 1996).
Gambar 4:
Elemen-elemen tektonik di wilayah tepi tenggara Daratan Sunda (Sundaland) (Hamilton, 1979).
Gambar 5:
Jalur magmatik Tersier Pulau Jawa (Soeria-Atmadja et al., 1994).
Gambar 6:
Jalur subduksi Kapur sampai masa kini di Pulau Jawa (Katili 1975, dalam Sujanto
et al., 1977).
Gambar 7:
Pola struktur Pulau Jawa (Martodjojo & Pulunggono, 1994) (RMKS =
Rembang-Madura-Kangean-Sakala).
bagian timur. Mereka
tersingkap di Komplek Melange Luk
Ulo-Karangsambung, Kebumen (Asikin, 1974; Suparka, 1988); Nanggulan, Kulonprogo
(Rahardjo et al., 1995); dan Pegunungan Jiwo, Bayat-Klaten (Sumarso dan
Ismoyowati, 1975; Samodra dan Sutisna, 1997).
Sedangkan untuk batuan yang lebih muda, yakni yang berumur Neogen, telah
banyak penelitian dilakukan terhadapnya (Van Bemmelen, 1949; Marks, 1957;
Sartono, 1964; Nahrowi et al, 1978; Pringgo-prawiro, 1983; De Genevraye dan Samuel, 1972;
Soeria-Atmadja et al., 1994). Pada umumnya penelitian geologi Tersier ini
menyepakati fenomena struktur atau tektonik
yang berarah umum timur-barat sebagai hasil interaksi lempeng dengan
zona tunjaman di selatan Jawa dan searah dengan arah memanjang Pulau Jawa.
Struktur Umum Jawa Bagian Timur
Jawa
bagian timur
(mulai dari daerah Karangsambung ke timur), berdasarkan pola struktur utamanya, merupakan daerah
yang unik karena wilayah ini merupakan tempat perpotongan dua struktur utama,
yakni antara struktur arah Meratus yang
berarah timurlut-baratdaya dan struktur arah Sakala yang berarah timur-barat
(Pertamina-BPPKA, 1996; Sribudiyani et al., 2003) (Gambar 8). Arah Meratus lebih berkembang di daerah lepas pantai
Cekungan Jawa Timur, sedangkan arah Sakala berkembang sampai ke daratan Jawa
bagian timur.
Struktur
arah Meratus adalah struktur yang sejajar dengan arah jalur konvergensi Kapur
Karangsambung-Meratus. Pada awal Tersier, setelah jalur konvergensi
Karangsambung-Meratus tidak aktif, jejak-jejak struktur arah Meratus ini
berkembang menjadi struktur regangan dan membentuk pola struktur tinggian dan
dalaman seperti, dari barat ke timur, Tinggian Karimunjawa, Dalaman Muria-Pati, Tinggian Bawean, Graben
Tuban, JS-1 Ridge, dan Central Deep (Gambar 9). Endapan yang mengisi dalaman ini, ke arah timur semakin
tebal, yang paling tua berupa endapan klastik terestrial yang dikenal sebagai
Formasi Ngimbang berumur Eosen. Distribusi endapan yang semakin tebal ke arah
timur ini menunjukkan pembentukan struktur tinggian dan dalaman ini kemungkinan
tidak terjadi secara bersamaan melainkan dimulai dari arah timur. Struktur arah
Sakala yang berarah barat-timur saat ini dikenal sebagai zona sesar mendatar
RMKS (Rembang-Madura-Kangean-Sakala). Pada mulanya struktur ini merupakan
struktur graben yang diisi oleh
endapan paling tua dari Formasi Pra-Ngimbang yang berumur Paleosen-Eosen Awal
(Phillips et al., 1991; Sribudiyani et al., 2003) (Gambar 9B). Graben ini
kemudian mulai terinversi pada Miosen menjadi zona sesar mendatar RMKS.
Berdasarkan sedimen pengisi cekungannya dapat disimpulkan sesar arah Meratus lebih
muda dibandingkan dengan sesar arah Sakala.
Selain
arah Sakala, struktur arah barat-timur lainnya adalah struktur yang oleh
Pulunggono dan Martodjojo (1994) disebut sebagai arah Jawa. Struktur ini pada
umumnya merupakan jalur lipatan dan sesar naik akibat kompresi yang berasal
dari subduksi Neogen Lempeng Indo-Australia. Jalur lipatan dan sesar naik ini
terutama berkembang di Zona Kendeng yang
membentuk batas sesar berupa zona overthrust
antara Zona Rembang dan Zona Kendeng (Gambar
10). Bidang overthrust yang nampak memotong sampai ke lapisan yang masih
berkedudukan horisontal menunjukkan pensesarannya terjadi paling akhir
dibandingkan dengan pembentukan struktur yang lain (Arah Meratus dan Arah Sakala).
Gambar 9: Penampang seismik baratlaut-tenggara yang menunjukkan
jejak-jejak struktur Arah Meratus yang berkembang menjadi struktur
regangan dan membentuk pola struktur tinggian dan dalaman (Prasetyadi,
2007; sumber: Pertamina-Beicip, 1985; Ditjen
Migas).
Gambar 10:
Penampang seismik utara-selatan yang menunjukkan zona overthrust sebagai batas antara Zona
Rembang dan Zona Kendeng (Prasetyadi, 2007; Sumber: Data seismik dari PND-Ditjen Migas).
Uraian
stratigrafi daerah Jawa bagian timur ditekankan
disini mengingat ekskursi yang akan
dilakukan meliputi wilayah Propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Pembagian zona
fisiografi Jawa yang dibuat oleh Van Bemmelen (1949) (Gambar 11), pada dasarnya juga mencerminkan aspek struktur dan
stratigrafinya (tektonostratigrafi). Berdasarkan aspek struktur dan stratigrafi, Smyth
et al. (2005) membagi
Jawa
bagian timur menjadi empat
zona tektonostratigrafi, dari selatan ke utara: (1) Zona Pegunungan Selatan (Southern Mountain Zone), (2) Busur
Volkanik masa kini (Present-day Volcanic
Arc), (3) Zona Kendeng (Kendeng
Zone), dan (4) Zona Rembang (Rembang
Zone) (Gambar 12). Pembagian ini menganggap Pegunungan Serayu Selatan (South Serayu Mountain) (Van Bemmelen,
1949) sebagai bagian dari Zona Pegunungan Selatan, sedangkan Zona Randublatung
(Van Bemmelen, 1949) sebagai bagian dari Zona Rembang. Stratigrafi Zona
Pegunungan Selatan, Zona Kendeng, dan Zona Rembang, telah banyak dikaji oleh
para peneliti terdahulu (Sartono, 1964; De Genevraye dan Samuel, 1972; Baumann et
al.,1972; Asikin, 1974; Sumarso dan Ismoyowati, 1975; Nahrowi et al, 1978;
Sujanto dan Sumantri, 1977; Pringgoprawiro, 1983; Pertamina-Robertson Research, 1986;
Phillips
et al., 1991; Bransden dan Matthews, 1992; Samodra et al., 1993; Rahardjo et al.,
1995; Smyth et al., 2005) dan hasil penelitian terdahulu ini dirangkum dalam Gambar 16. Rangkuman ini dibuat dengan maksud agar diperoleh gambaran secara lebih menyeluruh
tentang stratigrafi wilayah Jawa bagian timur terutama meliputi tiga dari empat
zona di atas, yakni Zona Pegunungan Selatan, Zona Kendeng, dan Zona Rembang. Stratigrafi Busur
Volkanik masa kini tidak dibahas karena hampir seluruhnya terdiri dari endapan Kuarter.
4.1. Karakter Batuandasar (Basement)
Berdasarkan
penanggalan UPb SHRIMP dari butiran-butiran mineral zircon yang dipisahkan dari
batuan-batuan sedimen, volkanik dan intrusif di Jawa Timur, Smyth et al. (2005)
berhasil mendapatkan informasi penting tentang karakter batuandasar Jawa Bagian
Timur. Sampel-sampel zircon memberikan suatu kisaran umur mulai dari Kenozoikum
sampai Archean (Pra-Kambrium). Zircon
berumur Kenozoikum dijumpai dalam batuan-batuan sedimen, volkanik dan intrusif
Jawa Timur yang menunjukkan umur aktifitas volkanik dan pengendapan sedimennya.
Sampel zircon yang menunjukkan umur Kapur terbatas di bagian utara dan barat
Jawa Timur yang kemungkinan mirip dengan batuandasar di Karangsambung dan di
daerah Rembang High yang berdekatan dengan Tinggian Meratus (Gambar 13). Beberapa sampel hanya
mengandung umur Kenozoikum dan Kapur. Sampel yang mengandung zircon Kapur
umumnya tidak mengandung zircon Archean.
Sumber-sumber untuk zircon Kapur kemungkinan besar adalah batuan kontinental Sundaland. Sementara itu sejumlah sampel
Gambar 11:
Zona-zona Fisiografi Jawa (Van Bemmelen, 1949).
Gambar 12:
Zona tektonostratigrafi Jawa bagian timur (modifikasi
dari Smyth et al., 2005).
berasal dari
Pegunungan Selatan mengandung zircon berumur Kambrium sampai Archean (Pra-Kambrium). Terdapatnya umur
Archean menunjukkan batuan magmatiknya menerobos batuandasar asal-Gondwana di
bawah Jawa Timur. Kisaran-kisaran umur yang mencirikan zircon Pegunungan
Selatan sangat mirip dengan yang dijumpai di Perth Basin, Australia Barat. Kemiripan ini menunjukkan zircon
dalam sampel Pegunungan Selatan memiliki provenan (asal sumber) dari Australia
Barat. Dengan demikian dapat diinterpretasikan terdapatnya afinitas fragmen
kontinen Gondwana yang berasal dari Australia barat sebagai batuandasar
Pegunungan Selatan Jawa Timur. Hal ini didukung juga oleh fenomena terpisahnya
sejumlah fragmen kontinen dari tepi benua Australia selama Mesozoikum sebelum
pemisahan India dengan Gondwana. Suatu fragmen kontinen Australia telah hadir
di Jawa Timur pada zaman Kapur, dan tumbukannya dengan tepi tenggara Sundaland kemungkinan besar terjadi
sebelum awal Kenozoikum karena kenyataannya batuan berumur Eosen Tengah
menumpang di atasnya.
Gambar
13: Distribusi sampel penanggalan zircon (Smyth
et al., 2005)
Empat wilayah
batuandasar dikenali oleh Smyth et al. (2005): Rembang High, Southern Mountain, Kendeng Zone, dan Western Block (Gambar
14).
- Rembang High: Terletak di bagian
utara Jawa Timur dan merupakan daerah yang terangkat selama Kenozoikum dan
memiliki endapan sedimen yang tipis dibandingkan dengan daerah cekungan di
selatannya. Litologi batuandasarnya dari pemboran dilaporkan terdiri
batuan metamorf, batuan bek, mirip dengan yang terdapat di Jalur
Pegunungan Meratus dan diinterpretasikan sebagai kompleks akrasi Kapur.
- Southern Mountain: Bukti dari penanggalan
zircon menunjukkan terdapatnya kerak kontinen di bawah busur volkanik
(OAF) Pegunungan Selatan dengan anomali gayaberat Bouguer positif yang
tinggi, dan terdapatnya zircon Pra-Kambrium.
- Kendeng Zone: Sifat batuandasar zona ini tidak dapat
dipastikan karena tebalnya sekuen sedimen yang menutupinya. Zona Kendeng dikenal
karena anomali Bouger negatifnya yang menonjol dan menunjukkan
batuandasarnya sangat dalam, mengandung sedimen dengan tebal 8 km sampai
11 km (de
Genevraye & Samuel, 1972, Untung & Sato, 1978). Batuandasarnya
diperkirakan memiliki sifat transisional antara tipe komplek akresi
(Rembang High) dan kontinental (Southern Mountain).
- Western Block: Daerah ini dibatasi oleh Sesar Progo-Muria
yang berarah TL-BD yang menandai berakhirnya secara mendadak anomali
gayaberat negatif Kendeng Depocenter dan Rembang High. Batuandasar di
sebelah barat sturktur ini, di Jawa Tengah, merupakan komplek akresi
Melange Luk-Ulo Karangsambung.
Meskipun Smyth et al. (2005) mengenali 4 zona batuandasar di atas, namun
hasil analisis provenan batupasir kuarsa Eosen dari daerah-daerah
Karangsambung, Nanggulan, Bayat, dan Cekungan Jawa Timur menunjukkan bahwa
batupasir Eosen Karangsambung memiliki karakter provenan yang sangat berbeda
dengan batupasir Eosen dari ketiga daerah lainnya sehingga diinterpretasikan tatanan
tektonik dan karakter batuandasar daerah Nanggulan, Bayat, dan Cekungan Jawa
Timur memiliki kemiripan sebagai basement
kontinental (Prasetyadi, 2007) (Gambar 15).
Gambar 15: Hasil
analisis provenan batupasir Eosen dari daerah Karangsambung, Nanggulan, Bayat,
dan Cekungan Jawa Timur (Prasetyadi, 2007).
Stratigrafi Zona Pegunungan Selatan
Zona
ini merupakan busur volkanik Eosen-Miosen yang endapannya terdiri dari
batuan-batuan siliklastik, volkaniklastik, volkanik dan karbonat dengan
kedudukan umum perlapisannya miring ke selatan. Zona Pegunungan Selatan dialasi
secara tidak selaras oleh batuandasar berumur Kapur seperti yang tersingkap di
daerah Karangsambung dan Bayat. Di Karangsambung singkapannya terdiri dari
himpunan batuan komplek akresi yang dikenal sebagai Komplek Melange Luk Ulo yang terdiri dari
blok-blok filit, sekis biru, eklogit, ultramafik, ofiolit, basalt, kalsilutit
dan rijang tertanam dalam matrik serpih tergerus (Asikin, 1974). Di daerah Bayat,
singkapan batuandasar terdiri dari filit, sekis, dan marmer (Sumarso dan
Ismoyowati, 1975).
Batuan
sedimen tertua yang diendapkan di atas
ketidak-selarasan menyudut terdiri dari konglomerat berfragmen batuan dasar dan
batupasir seperti yang terdapat dalam Formasi Nanggulan dan Formasi
Wungkal-Gamping yang berumur Eosen Tengah. Di atas konglomerat dan batupasir
kuarsa terdapat endapan bersekuen transgresif yang terdiri dari batubara,
batupasir dan batulanau. Pada Formasi Nanggulan, batupasir pada bagian atas
mengandung material volkanik dan sisipan batulempung tufaan (Smyth et al.,
2005). Kehadiran lapisan batugamping numulit menandai dimulainya pengendapan di
lingkungan lautan. Di lingkungan pengendapan yang lebih dalam di daerah
Karangsambung, secara tidakselaras di atas batuandasar Komplek Melange Luk Ulo, diendapkan satuan
olistostrom Formasi Karangsambung dan Formasi Totogan. Kandungan material volkanik Zona Pegunungan Selatan ini ke arah bagian atas meningkat sedangkan
proporsi material batuan dasar makin berkurang. Ketebalan endapan bagian bawah
zona ini diperkirakan mencapai 1000 m dengan singkapan terbatas dijumpai di
bagian barat, yakni di Karangsambung (diwakili oleh Formasi Karangsambung),
Nanggulan (Formasi Nanggulan), dan Bayat (Formasi Wungkal-Gamping). Sekuen
batuan bagian bawah ini oleh Smyth et al. (2005) disebut sebagai Synthem One Zona Pegunungan Selatan. Synthem adalah satuan kronostratigrafi
suatu satuan batuan sedimen yang dibatasi oleh ketidakselarasan dan menunjukkan
suatu siklus sedimentasi yang dipengaruhi oleh perubahan muka air laut relatif
atau tektonik. Batas atas sekuen bagian bawah Zona Pegunungan Selatan ini di
daerah Nanggulan dan Bayat merupakan ketidakselarasan Intra-Oligosen sementara
di daerah Karangsambung pengendapan berlangsung menerus (Asikin et al., 1992).
Gambar 16:
Rangkuman stratigrafi regional Jawa bagian timur dari
peneliti terdahulu (kiri), modifikasi dari Smyth et al., 2005 (kanan).
Di
atas bidang ketidakselarasan diendapkan suatu seri endapan yang terutama
terdiri dari endapan volkaniklastik dari Formasi Kaligesing di Kulonprogo
(Pringgoprawiro dan Riyanto, 1986); Kebobutak di Bayat ( Surono et al., 1992),
dan Formasi Besole (Sartono, 1964) dan Formasi Mandalika (Samodra et al., 1992)
di Pacitan, berumur Oligo-Miosen dan meliputi seluruh daerah Zona Pegunungan
Selatan. Sekuen endapan volkaniklastik ini, yang oleh Smyth et al. (2005)
disebut sebagai Synthem Two Zona
Pegunungan Selatan, merekam perkembangan dan berakhirnya Busur Volkanik
Oligo-Miosen Pegunungan Selatan. Aktifitas volkaniknya meliputi daerah yang
luas, explosif dan diperkirakan berjenis Plinian-type
(Smyth et al., 2005). Komposisi endapannya berkisar mulai dari andesitik sampai
rhyolitik dan litologinya terdiri dari abu volkanik yang tebal, tuf, breksi
batuapung, breksi andesitik, kubah lava dan aliran lava dengan ketebalan
berkisar mulai dari 250 m sampai lebih dari 2000 m. Akhir atau batas atas dari
sekuen volkaniklastik ini ditandai oleh peristiwa volkanik yang singkat yang
kemungkinan besar berupa suatu erupsi super (Erupsi Semilir) yang menghasilkan
Formasi Semilir (Smyth et al., 2005).
Setelah
periode ketika volkanisme Oligo-Miosen jauh berkurang aktifitasnya, bahkan
mati, kemudian tererosi dan materialnya diendapkan kembali sebagai sekuen
endapan berikutnya. Disamping itu sekuen endapan berikutnya juga dicirikan oleh
perkembangan paparan karbonat yang luas seperti yang dijumpai di daerah
Wonosari (Formasi Wonosari) dan Pacitan (Formasi Punung dan Formasi
Campurdarat). Endapannya mencapai ketebalan sekitar 500 m dan terumbu
berkembang pada daerah-daerah tinggian yang dibatasi sesar atau di
daerah-daerah bekas gunungapi. Di bagian puncaknya terdapat lapisan-lapisan
debu volkanik mengandung zircon yang berdasarkan penanggalan U-Pb SHRIMP menunjukkan
umur antara 10 dan 12 jtl (Smyth et al., 2005). Umur ini diperkirakan berkaitan
dengan munculnya kembali aktivitas volkanik pada Miosen Akhir, di posisi dimana
Busur Sunda masa kini berada.
4.3. Stratigrafi Zona
Kendeng
Zona
yang terletak diantara Busur Volkanik masa kini dan Zona Rembang ini merupakan
deposenter utama endapan Eosen-Miosen dan mengandung sekuen yang tebal sedimen
volkanogenik dan pelagik. Zona ini sekarang merupakan lajur lipatan dan sesar
anjakan berarah barat-timur.
Bagian
bawah sekuen endapan zona ini tidak tersingkap namun sebagian kecil ada yang
terbawa ke permukaan oleh aktifitas poton atau gunung lumpur (mud volcano) seperti yang terdapat di
daerah Sangiran (Itihara et al., 1985). Fragmen-fragmen batuan yang terbawa ke
permukaan, berupa batupasir gampingan dan konglomerat mengandung Nummulites, mirip dengan sebagian
karakter litologi sekuen bagian bawah Zona Pegunungan Selatan dan disebut Synthem One Zona Kendeng (Smyth et al., 2005). Di atas
sekuen bagian bawah ini diendapkan sekuen tebal yang umumnya terdiri dari
batupasir volkaniklastik dan batulempung pelagik dari Formasi Pelang, Formasi
Kerek dan Formasi Kalibeng (De Genevraye dan Samuel, 1972). Formasi Pelang,
berumur Miosen Awal, terdiri dari napal kaya foram dengan sisipan batugamping
mengandung foram besar, diendapkan dilingkungan neritik. Ketebalannya mencapai
125 m dan bagian bawahnya tidak tersingkap. Formasi Pelang dibatasi oleh kontak
sesar dengan Formasi Kerek yang terdiri dari endapan turbidit batulempung dan
napal berselingan dengan batupasir gampingan dan tufan. Di beberapa tempat
terdapat lapisan konglomerat dengan fragmen batugamping dan material volkanik
dan lapisan batugamping (Batugamping Kerek) pada bagian atas formasi ini.
Berdasarkan kandungan foram plankton umur Formasi Kerek menunjukkan umur Miosen
Akhir dan diendapkan di lingkungan laut dalam. Formasi Kalibeng yang diendapkan
di atas Formasi Kerek didominasi oleh napal globigerina dengan sedikit sisipan
batugamping. Berdasarkan kandungan foram plankton formasi ini menunjukkan umur
Miosen-Pliosen dan juga diendapkan dilingkungan laut dalam. Batupasir
volkaniklastik sekuen ini diinterpretasikan terbentuk di bagian selatan
di lereng utara komplek volkanik
Oligo-Miosen Zona Pegunungan Selatan dan ke arah utara merupakan tempat
pengendapan sedimen yang berbutir lebih halus dari sedimen pelagiknya. Walaupun
diendapkan di bagian cekungan yang lebih dalam batulempungnya masih mengandung
material volkanogenik.
Di
bagian baratdaya Zona Kendeng terdapat Lutut
Bed dengan ciri yang sangat berbeda dengan karakter umum endapan Zona
Kendeng (Smyth et al., 2005). Walaupun berada di lingkungan yang didominasi
oleh endapan volkaniklastik, batuan Lutut
Bed banyak mengandung kuarsa dan fragmen batuandasar (rijang, sekis, dan
basalt), fragmen batupasir kuarsa Eosen dan batubara. Terdapatnya hasil
rombakan batuandasar dan batuan Eosen ini menunjukkan adanya pengangkatan dan
erosi pada Miosen Awal.
Seri
endapan laut dalam di Zona Kendeng diakhiri dengan pengendapan Batugamping
Klitik Formasi Sonde (Pringgoprawiro, 1983). Formasi Sonde terdiri dari
batugamping lempungan dan napal dengan sisipan batugamping wackstone mengandung Balanus (Koesoemo, 2003). Sekuen endapan
bagian atas Zona Kendeng didominasi oleh endapan volkaniklastik yang terdiri
batupasir konglomeratan, batupasir tufan, breksi volkanik dari Formasi
Pucangan, Formasi Kabuh dan Formasi Notopuro. Terdapatnya moluska air tawar,
fragmen hominoid pada Formasi Pucangan dan terdapatnya endapan lahar dan fluvio-volkanik
pada Formasi Notopuro menunjukkan lingkungan pengendapan terestrial dan berumur
Pleistosen. Sekuen endapan bagian atas Zona Kendeng ini menunjukkan munculnya
kembali aktifitas volkanik pada Plistosen yang merupakan cikal bakal Busur
Volkanik masa kini di Jawa.
4.4. Stratigrafi Zona
Rembang
Zona
ini umumnya terdiri dari sekuen Eosen-Pliosen yang meliputi endapan tepian
paparan seperti sedimen klastik laut dangkal dan endapan karbonat yang luas.
Batuandasar yang mengalasi Zona Rembang didominasi oleh berbagai jenis batuan
metamorf berumur Kapur seperti batusabak (Sumur Purwadadi-1), filit (Sumur
Kujung-1) dan batuan beku diorit (Sumur NCJ-1). Endapan tertua di zona ini,
yang disebut Formasi Pra-Ngimbang, yang dijumpai di bagian timur Zona Rembang berdasarkan
data sumur. Formasi ini terdiri dari batupasir, batulanau, dan serpih dengan
sisipan batubara dan berdasarkan kandungan
fosil nanno menunjukkan umur Paleocene sampai Eosen Awal (Phillips et al.,
1991). Walaupun tidak tegas namun diinterpretasikan batasnya tidak-selaras
dengan Formasi Ngimbang yang diendapkan di atasnya. Formasi Ngimbang yang
berumur Eosen Tengah terdiri dari tiga anggota: Anggota Klastik Ngimbang,
Anggota Karbonat Ngimbang, dan Anggota Serpih Ngimbang (Phillips et al., 1991).
Anggota Klastik Ngimbang, yang menyusun bagian bawah Formasi Ngimbang, terdiri
dari batupasir dan konglomerat yang ke atas berangsur menjadi batupasir, serpih
dan lapisan batubara. Bagian bawah umumnya diendapkan di lingkungan terestrial
sedangkan bagian atas diendapkan di lingkungan laut dangkal. Anggota Karbonat
Ngimbang diendapkan sebagai akibat terjadinya transgresi dari arah selatan yang
menggenangi Daratan Sunda ke arah barat dan utara. Puncak transgresi ini
ditandai dengan pengendapan Anggota Serpih Ngimbang, yang terdiri dari serpih
gampingan, di lingkungan neritik luar sampai bathyal. Batupasir Formasi
Ngimbang banyak mengandung kuarsa dan diperkirakan memiliki sumber kontinental
lokal (Sribudiyani et al., 2003). Sekuen transgresif ini, yang oleh Smyth et al.
(2005) disebut Synthem One Zona
Rembang, diakhiri oleh ketidakselarasan
Intra-Oligosen dan ditumpangi oleh endapan karbonat Formasi Kujung. Bidang
perlapisan di atas dan di bawah bidang ketidakselarasan mempunyai orientasi
yang tidak jauh berbeda sehingga ketidakselarasan ini diinterpretasikan sebagai
akibat penurunan muka air laut (Smyth et al., 2005).
Sekuen
di atas endapan Formasi Pra-Ngimbang dan Formasi Ngimbang didominasi oleh
endapan karbonat Formasi Kujung dan Formasi Prupuh yang berumur Oliogosen.
Dominasi endapan karbonat ini menunjukkan berkurangnya input material klastik
yang kemungkinan disebabkan baik oleh naiknya muka air laut ataupun oleh
berkurangnya kondisi relief di daerah sumbernya. Menurut Smyth et al. (2005)
endapan karbonat Oligo-Miosen ini, yang disebut sebagai Synthem Two Zona Rembang,
ada yang mengandung lapisan material volkanik yang diinterpretasikan
sebagai hasil endapan jatuhan dari Busur Volkanik Pegunungan Selatan. Pengendapan suatu seri batuan siliklastik dan
karbonat di atas Formasi Kujung menandai priode terjadinya perubahan pola
sedimentasi secara besar-besaran. Hal ini ditunjukkan oleh Endapan karbonat
murni Formasi Kujung ke arah atas berubah menjadi endapan asal-daratan Formasi
Tuban dan Formasi Ngrayong yang berumur Miosen Tengah. Formasi Ngrayong
merupakan endapan terestrial sampai laut dangkal yang dicirikan oleh banyaknya
kandungan kuarsa. Di atas Formasi Ngrayong, endapannya dicirikan kembali oleh
endapan karbonat berumur Miosen Akhir sampai Pliosen dari Formasi-formasi Bulu,
Wonocolo, Ledok dan Mundu. Fase regresi menandai bagian atas Zona Rembang
seperti ditunjukkan oleh endapan batupasir globigerina Formasi Selorejo dan batulempung Formasi
Lidah sebelum diendapkan Formasi Paciran
sebagai satuan batugamping termuda di zona ini (Pringgoprawiro, 1983).
5. SEJARAH TEKTONIK PULAU
JAWA
5.1. Pemekaran
Lantai Samudera Hindia
Pulau
Jawa berada di tepi tenggara Daratan Sunda (Sundaland).
Pada Daratan Sunda ini terdapat dua sistem gerak lempeng; Lempeng Laut Cina
Selatan di utara dan Lempeng Samudera Hindia di selatan. Lempeng Laut Cina
Selatan bergerak ke tenggara sejak Oligosen (Longley, 1997), sedangkan Lempeng
Samudera Hindia yang berada di selatan bergerak ke utara sejak Mesozoikum dan
menunjam ke bawah sistem busur kepulauan Sumatra dan Jawa (Liu dkk., 1983).
Untuk Pulau
Jawa, yang terbesar pengaruhnya adalah sistem gerak Lempeng Samudera Hindia. Oleh
karena itu dalam mempelajari evolusi
tektonik
Pulau Jawa perlu dipahami
perkembangan pemekaran lantai Samudera Hindia dari waktu ke waktu.
Sebelum ditemukannya fosil pusat pemekaran Wharton Ridge, pengetahuan tentang sejarah perkembangan Samudera
Hindia terbatas hanya pada terdapatnya tiga fase pemekaran lantai samudera
sejak pecahnya Benua Gondwana bagian timur (Liu dkk, 1983).
·
Fase pemekaran pertama terjadi pada Kapur Awal (127 jtl)
ketika India terpisah dari Antartika dan Australia pada arah
baratlaut-tenggara.
·
Fase pemekaran
kedua terjadi antara pembentukan
anomali magnetik 34 dan 22 (atau antara 82 jtl sampai 54 jtl) yang ditandai
oleh India terpisah dari Antartika dan menjauh ke utara dengan cepat. Fase ini
ditunjukkan oleh kelurusan anomali magnetik berarah barat-timur. Kemudian pada
anomali 22 (atau 54 jtl) kecepatan pergerakan India ke utara menurun secara
mencolok karena diperkirakan mulai terjadi kontak pertama antara Benua India
dengan zona subduksi di selatan Asia.
·
Fase pemekaran ketiga, atau fase yang terakhir, terjadi
mulai dari anomali 19 (atau 45 jtl) sampai sekarang ditunjukkan oleh anomali 19
sampai anomali 0 (nol) dengan arah baratlaut-tenggara yang memisahkan India dan
Australia dari Antartika.
Sejarah perkembangan Samudera Hindia ini direvisi oleh Liu dkk (1983)
berdasarkan hasil studi anomali magnetik Wharton
Ridge, suatu pusat pemekaran berarah baratdaya-timurlaut yang berhenti
aktivitasnya pada anomali 20 (45,6 jtl). Indikasi pertama keberadaan Wharton Ridge dilaporkan oleh McDonald
(1977, dalam Liu dkk., 1983). Dalam studinya tentang sedimentasi dan struktur
kipas bawahlaut Nicobar, yang menutupi lantai samudera di bagian baratlaut
Cekungan Wharton, dikenali serangkaian tinggian batuan dasar berarah
baratdaya-timurlaut di bawah lapisan sedimen dan menamakan tinggian ini sebagai
Wharton Ridge. Dia juga berpendapat
bahwa tinggian atau pematang ini mewakili segmen pusat pemekaran yang belum
menyusup di bawah Palung Sunda.
Berdasarkan identifikasi anomali magnetik di daerah sekitar Wharton Ridge serta hasil dari DSDP (Deep Sea Drilling Project) di dekatnya,
Liu dkk.(1983) mengemukakan urutan perkembangan Samudera Hindia bagian timur
sebagai berikut (Gambar
17) :
(1) India terpisah
dari Antartika-Australia dengan arah baratlaut-tenggara pada anomali magnetik
M-11 (atau sekitar 127 jtl), yang menandai pecahnya benua purba Gondawana
bagian timur.
(2) Pada Kapur
Tengah, antara pembentukan anomali M-0 dan anomali 34 (atau antara 110-82 jtl),
terjadi reorganisasi lempeng secara besar-besaran yang pertama. Pergerakan
relatif antara India dan Antartika berubah menjadi berarah utara-selatan dan
Australia mulai memisahkan diri dari Antartika.
(3) Pada Kapur Akhir,
selama periode pembentukan anomali 34 sampai anomali 22 (atau antara 82-54 jt),
India terus bergerak ke utara dengan cepat, sementara Australia bergerak
menjauh dari Antartika dengan sangat lambat. Pada saat itu terbentuk triple junction di tempat dimana sesar
transform 86ºE yang berarah utara-selatan menyatu dengan pusat pemekaran
India-Antartika yang berarah barat-timur. Pada saat itu India dan Australia
berada di dua lempeng yang berbeda dipisahkan oleh pusat pemekaran Wharton.
(4) Antara
pembentukan anomali 22 dan anomali 19 (atau antara 54jt – 45 jt), reorganisasi
lempeng yang kedua terjadi ditandai dengan berkurangnya secara mencolok
kecepatan pergerakan ke utara India. Aktifitas pemekaran di sepanjang Wharton Ridge berhenti atau mati tidak
lama setelah pembentukan anomali 19 (atau 45 jt). Berkurangnya secara mencolok
gerak India ke utara dan matinya Wharton
Ridge ini diinterpretasikan sebagai pertanda kontak pertama Benua India
dengan zona subduksi di selatan Asia pada 54 jtl.
(5) Setelah
pembentukan anomali 19 (sekitar 45 jtl), aktifitas pusat pemekaran di selatan
Australia (SE Indian Ridge), yang
memisahkan India-Australia dan Antartika, berlangsung hingga sekarang. Pada
saat itu, dengan telah matinya pusat pemekaran Wharton, India dan Australia
berada pada satu lempeng tunggal dan bersama-sama bergerak ke utara. Di bagian
barat Benua India terus bergerak ke utara, membentur dengan keras (hard collision) Benua Asia membentuk
Pegunungan Himalaya, sementara di bagian timur Lempeng Samudera Hindia terus
menunjam di Palung Sunda.
Evolusi
Tektonik Tersier Pulau Jawa
Pulau Jawa merupakan salah satu pulau
di Busur Sunda yang mempunyai sejarah geodinamik aktif, yang jika dirunut perkembangannya
dapat dikelompokkan menjadi beberapa fase
tektonik dimulai dari Kapur Akhir hingga sekarang
Periode Kapur Akhir – Paleosen
Fase tektonik awal terjadi pada Mesozoikum
ketika pergerakan Lempeng Indo-Australia ke arah timurlaut menghasilkan subduksi dibawah Sunda Microplate sepanjang suture
Karangsambung-Meratus, dan diikuti oleh fase regangan (rifting phase) selama Paleogen dengan pembentukan serangkaian
horst (tinggian) dan graben (rendahan). Aktivitas
magmatik Kapur Akhir dapat diikuti menerus dari Timurlaut Sumatra – Jawa – Kalimantan Tenggara. Pembentukan cekungan
depan busur (fore arc basin)
berkembang di daerah selatan Jawa Barat dan Serayu Selatan di Jawa Tengah. Mendekati Kapur
Akhir – Paleosen, fragmen benua yang terpisah dari Gondwana, mendekati zona subduksi
Karangsambung-Meratus. Kehadiran allochthonous
microcontinents di wilayah Asia Tenggara telah dilaporkan oleh banyak penulis (Metcalfe,
1996). Basement bersifat kontinental
yang terletak di sebelah timur zona subduksi Karangsambung-Meratus dan yang
mengalasi Selat Makasar teridentifikasi
di Sumur Rubah-1 (Conoco, 1977) berupa granit pada kedalaman 5056 kaki,
sementara didekatnya Sumur Taka Talu-1 menembus basement diorit. Docking
(merapatnya) fragmen mikrokontinen pada bagian
tepi timur Sundaland menyebabkan
matinya zona subduksi Karangsambung-Meratus dan terangkat-nya zona subduksi tersebut
menghasilkan Pegunungan Meratus
Periode Eosen (Periode Ekstensional /Regangan)
Antara 54 jtl – 45
jtl (Eosen), di
wilayah Lautan Hindia terjadi reorganisasi
lempeng ditandai dengan berkurangnya secara mencolok kecepatan pergerakan ke
utara India. Aktifitas pemekaran di sepanjang Wharton Ridge berhenti atau mati tidak lama setelah pembentukan
anomali 19 (atau 45 jtl). Berkurangnya secara mencolok gerak India ke utara
dan matinya Wharton Ridge ini
diinterpretasikan sebagai pertanda kontak pertama Benua India dengan zona subduksi
di selatan Asia dan menyebabkan terjadinya tektonik regangan (extension tectonics) di sebagian besar
wilayah Asia Tenggara yang ditandai dengan pembentukan cekungan-cekungan utama (Cekungan-cekungan: Natuna, Sumatra, Sunda, Jawa
Timur, Barito, dan Kutai) dan
endapannya dikenal sebagai endapan syn-rift.
Pelamparan extension tectonics ini
berasosiasi dengan pergerakan sepanjang
sesar regional yang telah ada sebelumnya dalam fragmen mikrokontinen.
Konfigurasi struktur basement mempengaruhi arah cekungan syn-rift Paleogen di wilayah
tepian tenggara Sundaland (Sumatra, Jawa,
dan Kalimantan Tenggara)
Periode Oligosen Tengah (Kompresional –
Terbentuknya OAF)
Sebagian
besar bagian atas sedimen Eosen Akhir memiliki kontak tidak selaras dengan
satuan batuan di atasnya yang berumur Oligosen. Di daerah
Karangsambung batuan Oligosen diwakili oleh Formasi Totogan yang kontaknya
dengan satuan batuan lebih tua menunjukkan ada yang selaras dan tidak selaras.
Di daerah Karangsambung selatan batas antara Formasi Karangsambung dan Formasi
Totogan sulit ditentukan dan diperkirakan berangsur, sedangkan ke arah utara
Formasi Totogan ada yang langsung kontak secara tidak selaras dengan batuan
dasar Komplek Melange Luk Ulo. Di daerah Nanggulan kontak ketidakselarasan
terdapat diantara Anggota Seputih yang berumur Eosen Akhir dengan satuan breksi volkanik Formasi Kaligesing yang
berumur Oligosen Tengah. Demikian pula di daerah Bayat, bagian atas Formasi
Wungkal-Gamping yang berumur Eosen Akhir. Tanda-tanda ketidak selarasan
ditunjukkan oleh terdapatnya fragmen-fragmen batuan Eosen di sekuen bagian
bawah Formasi Kebobutak yang berumur Oligosen Akhir. Ketidakselarasan di
Nanggulan dan Bayat merupakan ketidakselarasan menyudut yang diakibatkan oleh
deformasi tektonik yang sama yang menyebabkan terdeformasinya Formasi
Karangsambung. Akibat deformasi ini di daerah Cekungan Jawa Timur tidak
jelas teramati karena endapan Eosen Formasi Ngimbang disini pada umumnya
selaras dengan endapan Oligosen Formasi Kujung.
Deformasi
ini kemungkinan juga berkaitan dengan pergerakan ke utara Benua Australia. Ketika Wharton Ridge masih aktif Benua
Australia bergerak ke utara sangat lambat. Setelah matinya pusat pemekaran
Wharton pada 45 jt, India dan Australia berada pada satu lempeng tunggal dan
bersama-sama bergerak ke utara. Pergerakan Australia ke utara menjadi lebih
cepat dibanding ketika Wharton Ridge masih aktif. Bertambahnya kecepatan ini
meningkatkan laju kecepatan penunjaman Lempeng Samudera Hindia di Palung Jawa
dan mendorong ke arah barat, sepanjang sesar mendatar yang keberadaannya
diperkirakan, Mikrokontinen Jawa Timur sehingga terjadi efek kompresional di daerah
Karangsambung yang mengakibatkan terdeformasinya Formasi Karangsambung serta
terlipatnya Formasi Nanggulan dan Formasi Wungkal-Gamping di Bayat.
Periode Oligo-Miosen (Kompresional – Struktur
Inversi )
Pada Oligosen
Akhir sampai Miosen Tengah pergerakan ke utara India dan Australia berkurang
secara mencolok karena terjadinya benturan keras (hard collision) antara India dengan Benua Asia membentuk
Pegunungan Himalaya. Akibatnya laju penunjaman Lempeng Samudera Hindia di
palung Sunda juga berkurang secara drastis. Hard
collision India menyebabkan efek maksimal tektonik ekstrusi sehingga
berkembang fase kompresi di wilayah Asia Tenggara. Fase kompresi ini
menginversi sebagian besar endapan syn-rift
Eosen. Di Cekungan Jawa Timur fase kompresi ini menginversi graben RMKS
menjadi zona Sesar RMKS. Di selatan Jawa, kegiatan volkanik Oligosen menjadi
tidak aktif dan mengalami pengangkatan. Pengangkatan ini ditandai dengan
pengendapan karbonat besar-besaran seperti Formasi Wonosari di Jawa Tengah dan
Formasi Punung di Jawa Timur. Sedangkan di bagian utara dengan aktifnya inversi
berkembang endapan syn-inversi
formasi-formasi Neogen di Zona Rembang dan Zona Kendeng.
Selama periode ini, inversi cekungan terjadi karena konvergensi
Lempeng Indian menghasilkan rezim tektonik kompresi di daerah “busur depan”
Sumatra dan Jawa. Sebaliknya, busur belakang merupakan subjek pergerakan
strike-slip utara-selatan yang dominan sepanjang sesar-sesar turun (horst dan
graben) utara-selatan yang telah ada.
Periode Miosen Tengah – Miosen Akhir (20 – 5 Ma)
Pengaktifan kembali
sepanjang sesar tersebut menghasilkan
mekanisme transtension dan transpression yang berasosiasi dengan
sedimentasi turbidit dibagian yang mengalami penurunan. Namun demikian, di
bagian paling timur Jawa Timur, bagian basement
dominan berarah timur-barat,
sebagaimana secara khusus dapat diamati dengan baik mengontrol Dalaman Kendeng
dan juga Dalaman Madura. Bagian basement berarah Timur – Barat merupakan bagian dari fragmen benua yang
mengalasi dan sebelumnya tertransport dari selatan
dan bertubrukan dengan Sundaland
sepanjang Suture Meratus (NE-SW struktur). Tektonik
kompresi karena subduksi ke arah utara telah mengubah sesar basement Barat – Timur menjadi
pergerakan sesar mendatar, dalam perioda yang tidak terlalu lama (Manur dan
Barraclough, 1994). Kenaikan
muka air laut selama periode ini,
menghasilkan pengendapan sedimen klastik di daerah rendahan, dan
sembulan karbonat (carbonate buildup) pada tinggian yang membatasi.
SEJARAH
SEDIMENTASI
Interaksi lempeng telah
diyakini berpengaruh terhadap pembentukan maupun konfigurasi cekungan yang
dikontrol oleh sesar-sesar bongkah pada basement.
Menurut Sujanto dan Sumantri (1977), pola pengendapan di Pulau Jawa selama Tersier memperlihatkan berbagai gejala
seperti sesar tumbuh (growth faulting),
pembentukan paparan karbonat regional (regional
platforming), pengendapan seperti flysch
pada palung, pertumbuhan terumbu pada volkan-volkan tua dan sedimentasi
gelinciran-pemerosotan-turbiditik (turbiditic-sliding-gliding
sedimen-tation).
Sedimen
Paleogen (Kapur Akhir – Tersier Awal)
Endapan Paleogen umumnya merupakan
endapan syn-rift yakni sedimen yang
terendapkan bersamaan dengan proses peregangan yang mengakibatkan pembentukan horst dan graben.
Endapan
Paleogen Jawa bagian utara
Formasi Jatibarang di Jawa Barat mewakili seri
batuan volkanik yang diendapkan selama rifting
pada Eosen Tengah-Akhir dalam cekungan seperti graben-graben yang berorientasi
utara-selatan berasosiasi dengan regim regangan (extensional) dalam Busur
magmatik yang terangkat. Dijumpai terutama di Sub-cekungan Jatibarang, terdiri dari
piroklastik, lava andesit bersisipan dengan tuffa. Perselingan piroklastik,
konglomerat, serpih dan batugamping tipis serta lapisan batupasir diendapkan
pada lingkungan paralik hingga laut. Batuandasar berupa monzonit dan diorite, yang
mengalasi batuan volkanik Jatibarang, berumur 65 – 58 Ma (Kapur Akhir –
Paleosen) tetapi juga 213 Ma (Trias) untuk argilit lanauan (Patmosukismo and
Yahya, 1974). Basement berumur Trias umumnya dianggap sebagai bagian ujung
selatan Sundaland. Basemen berumur Kapur Akhir merupakan bagian dari busur
magmatik Kapur Akhir – Tersier Awal, dan volkanik Jatibarang kemungkinan
merupakan bagian busur magmatik berikutnya (busur volkanik Eo-Oligosen) yang
berpindah ke selatan sebelum menempati pantai selatan Jawa pada kala
Oligo-Miosen.
Endapan
Paleogen Jawa Bagian Selatan
Formasi Ciletuh dan Formasi
Karangsambung di Komplek Luk Ulo mewakili sedimen yang diendapkan pada cekungan
muka busur (forearc basin) yang
labil. Pengisian cekungan terdiri dari batulempung (mudstone) yang terlipat kuat (tightly
folded), dengan sisipan batupasir, batupasir-konglomeratan dan batugamping.
Sangat umum endapan-endapan turbidit maupun aliran masa (mass-flow) dijumpai di daerah ini (Martodjojo,1998). Di Jawa
Tengah batupasir kuarsa berumur Eosen
Tengah – Eosen Akhir yang dikenal sebagai Formasi Nanggulan dijumpai tersebar
di sebelah tenggara maupun di bagian barat Komplek Luk Ulo. Di daerah Zona
Pegunungan Selatan endapan Paleogen di temukan di Nanggulan (Formasi Nanggulan)
dan di Bayat (Formasi Gamping Wungkal).
Endapan Paleogen di Lepas pantai dan daratan Jawa Timur
Di
daratan maupun lepas pantai Jawa Timur, berdasarkan data pemboran sumur-sumur
TD dan EJ-1, sedimen kuarsa klastik paleogen di wakili oleh Formasi Ngimbang.
Formasi Ngimbang ditemukan di dalam kedua graben yang berarah Timurlaut
– Baratdaya (sepanjang
arah Meratus/pola Meratus) dan graben Barat – Timur dikenal sebagai arah Sakala di Jawa Timur.
Kehadiran sedimen Formasi Pre-Ngimbang
yang lebih dalam pada penampang
seismik memperlihatkan refleksi kuat yang secara tidakselaras berada dibawah
Formasi Ngimbang, yang terdapat di sepanjang depresi berarah Barat – Timur.
Bukti ini menyatakan hampir bisa
dipastikan kehadiran tinggian purba yang menghasilkan sumber asal darat paling tidak selama Kapur – Eosen. Fragmen kontinen mungkin melampar dari Jawa
Tengah di bagian barat hingga Kangean Timur di bagian timur.
Sedimen Neogen (Sedimen Oligo-Miosen)
Selama Oligo-Miosen
(Oligosen Akhir-Miosen Awal), terjadi kegiatan perkembangan volkanisme “old
andesite” di Jawa bagian selatan yang menghasilkan batuan volkaniklastik serta
perkembangan paparan dan terumbu karbonat yang menghasilkan endapan karbonat.
Penyebaran Batuan Volkaniklastik
Produk kegiatan volkanisme ini
tersebar sepanjang Jawa bagian selatan, dari Pacitan di Jawa Timur hingga
Pelabuhan Ratu-Bayah di Jawa Barat melalui Bayat, Parangtritis, Kulon Progo,
Luk Ulo-Karang Sambung, Pangandaran dan
Cikatomas (Soeria-Atmadja et al., 1994). Batuan ini juga melampar sampai lepas
pantai selatan Pula Jawa sebagaimana ditunjukkan oleh Sumur Alveolina-1 dan
Borealis-1 (Shell, 1972-1973). Kharakteristik petrologi adalah Calc-alkaline
(Hamilton,1979). Lava flows pada jalur ini adalah island arc tholeiits
(Soeria-Atmaja et al.,1994). Batuan di Pacitan terdiri dari basaltic pillow
lavas dengan dyke. Di Bayat banyak tersingkap dyke dan tubuh intrusi lain yang
kebanyakan berkomposisi basaltis. Di Parangtritis batuan terdiri dari
aglomerat, breksi volkanik, dan dyke ber-komposisi
andesitic dan basaltis. Di Kulon Progo dijumpai banyak tersingkap “Volcanic necks”,
lava dome, breksi lahar dan piroklastik serta sedimen volkanik berbutir halus
lainnya. Di Luk Ulo-Karang Sambung batuan terdiri dari sill, dyke dan plug
berkomposisi andesitic hingga basaltic menerobos penutup sedimen berumur Eosen
Akhir hingga Miosen Awal. Di Pangandaran – Cikatomas (Jawa Barat bagian
tenggara), banyak tersingkap lava flow dan breksi lahar berkomposisi
calc-alkaline. Di Pelabuhanratu – Bayah batuan terdiri dari lava flow
berkomposisi andesitic hingga basaltic, breksi volkanik dan tufa.
Penyebaran Batuan Karbonat di bagian Jawa Utara.
Pada Oligo-Miosen batuan karbonat tersebar
meliputi wilayah Ciputat – Jatibarang, Jawa Tengah Utara, Cepu – Surabaya –
Madura, yang jauh dari pengaruh Busur Volkanik Oligo-Miosen dan terutama berkembang
di tatanan tektonik backarc.
Batuan Karbonat Ciputat-Jatibarang
area:
Berkembang di cekungan Jawa Barat
Utara pada sub-cekungan Ciputat, Pasirpuih, Jatibarang dan diselai tinggian
Rengasdengklok, Pemanukan, dan Gantar-Kandanghaur. Batugamping terdiri dari batugamping
foraminifera/alga paparan, dengan sembulan terumbu koral yang dihasilkan oleh proses trangresi serta menempati puncak paparan, tinggian dan berubah menjadi serpih
kearah cekungan yang dalam. Satuan
batuan ini disebut sebagai Formasi Cibulakan Tengah yang umurnya ekivalen
dengan Formasi Baturaja di Sumatera Selatan dan Lepas Pantai Laut Jawa Barat.
Di bawahnya adalah batupasir Cibulakan Bawah berumur Oligosen Akhir (ekivalen
dengan Formasi Talangakar. Terdiri dari hasil rombakan basemen pre-Tersier atau
volkaniklastik Jatibarang yang berumur Eosen hingga Oligosen. Ciputat-Jatibarang
termasuk dalam tatanan busur belakang
selama Miosen Awal relative terhadap busur volkanik Oligo-Miosen yang
berkembang di Jawa bagian Selatan. Selama itu volkanisme Jampang di Pegunungan Selatan Jawa Barat mencapai
kegiatan puncaknya. Namun tidak dijumpai material volkanik dalam karbonat
Cibulakan Tengah, yang berarti volkanisme yang terjadi bersamaan sedimentasi karbonat
tidak berpengaruh.
Batuan Karbonat Daerah Jawa Tengah
Utara:
Batugamping Sigugur Miosen Awal di
bagian tengah fisiografi Rangkaian Pegunungan Serayu Utara mewakili karbonat
Oligo-Miosen di daerah ini. Satuan batuan ini secara transgresif menutup batuan
berumur Eosen. Di Rangkaian Pegunungan Serayu Selatan batugamping Sigugur dijumpai sebagai fragmen
dalam Old Andesit Gabon. Pada Sumur NCJ A-1 (sebelah barat Semarang), dan NCJ
B-1(sebelah timur Pekalongan) ditemukan karbonat oligo-miosen bersisipan dengan
serpih dan beberapa perselingan batupasir dan batubara. Pada Sumur NCJ C-1
diselatan Pemalang hanya menemukan serpih. Batugamping pada NCJ A-1 menumpang
pada diorite porpiri dengan K-Ar berumur 14.65 Ma (Miosen Tengah) yang dianggap
sebagai tubuh intrusi atau tubuh plutonvolkanik Komplek Ungaran Tua. Di sumur
NCJ B-1 batugamping menumpang pada breksi volkanik yang dianggap sebagai produk
volkanik Old Andesite Gabon yang menerobos Jawa Tengah lebih ke utara. Batugamping
yang diterobos Sumur NCJ A-1 da NCJ B-1 dalam lingkungan paparan. Data
biostratigrafi menyebutkan terbentuk dalam lingkungan inner hingga middle
sublitoral berair jernih, hangat dan dipengaruhi laut terbuka.
Batuan Karbonat Cepu-Surabaya-Madura
Penyebaran batuan karbonat daratan Jawa terkonsentrasi sepanjang
punggungan basemen yang membentuk jalur sejajar berarah WSW – ENE di daerah
Cepu, Surabaya dan Madura dikenal sebagai Tinggian Cepu Barat, Tinggian Cepu
Timur, Punggungan Kemandung dan punggungan BD (Ardana,1993). Punggungan ini
merupakan elemen Tersier Awal yang dihasilkan dari segmentasi basemen selama
peregangan (rifting) cekungan busur belakang Jawa Timur. Punggungan-punggungan
ini menerus kearah timur-laut kedalam laut Jawa Timur sekarang yang membentuk
punggungan basemen yang sama tetapi lebih luas seperti punggungan JS-1 dan
Platform Madura Utara. Selama Oligo-Miosen, daerah Cepu-Surabaya- Madura
terletak dalam laut yang terbuka sebelah selatan tepi paparan yang terletak di
sepanjang pantai Jawa Timur dari Rembang hingga utara Pulau Madura. Daerah
paparan terletak sebelah utara tepi paparan
yang sekarang adalah Laut Jawa Timur. Olehkarena itu Cepu Barat hingga
punggungan BD merupakan daerah tinggian dalam laut yang terbuka.
Pengendapan
Batugamping reef terjadi di daerah tinggian dan kebanyakan sebagai Pinacle reef.
Pada daerah rendahan yang menyelainya, terendapkan napal laut dalam, serpih dan
chalks. Pada Sumur Ngimbang-1 terletak di selatan Tinggian Cepu Timur menerobos
fasies chalky setebal 200 kaki dan Jatirogo-1 ditimur Tinggian Cepu Barat
menerobos fasies chalky setebal 150 kaki. Kelompok karbonat ini disebut sebagai
gamping Kujung, Prupuh dan Tuban di daerah Cepu dan Surabaya atau sebagai
gamping Poleng dan Prupuh di Pulau Madura. Kelompok ini berumur dari Oligosen
Akhir sampai Miosen Awal. Formasi Kujung terdiri dari satuan Kujung III, II,
dan I. Kujung bagian bawah (Basal Kujung III) adalah sekuen regresiv yang kaya akan sedimen
klastika, Kujung II adalah sekuen trangresiv karbonat laut dangkal dan serpih
gampingan dengan sembulan karbonat yang secara setempat menempati tinggian.
Kujung I (Prupuh Member) merupakan batugamping bersih, energi tinggi, dan
umumnya berupa sembulan gamping pinnacle reef. Di zona Rembang, Reef berkembang
di Tinggian Cepu Barat. Batugamping terumbu (Reef) KedungTuban, Banyu Urip, Sukowati,
Mudi, dan Kembang Baru berkembang di
Tinggian Cepu Timur.
Penyebaran batuan karbonat di bagian Jawa Selatan
Pada Oligo-Miosen batuan karbonat tersebar
dari Jampang- Bayah- Sukabumi- Banyumas – Gunung Kidul, yang berada pada
tatanan tektonik intra-arc. Tidak dijumpai perkembangan karbonat reef yang
bersamaan dengan volkanisme di wilayah Gunung Kidul-Banyumas-Jampang. Tidak
ada batugamping foraminifera berkembang
sebagai sisipan dalam batuan volkanik Jampang di Jawa Barat selama Miosen Awal.
Jiwo Hills and Daerah sekitarnya di
bagian selatan
Pada Oligo-Miosen di daerah ini
diwakili oleh endapan produk volkanik berupa endapan turbidit karena aliran
gravitasi seperti Formasi Kebo-Butak, Semilir, Nglanggran (Oligosen Akhir –
Awal Miosen Tengah) di bagian barat dan dapat dikorelasikan dengan Formasi
Besole di bagian timur dan ditutupi oleh Formasi Sambipitu dan Oyo pada akhir
Miosen Awal hingga awal Miosen Tengah. Formasi Kebo-Butak disusun oleh serpih
tufaan dasitis hingga andesitic, lanau berlapis tipis, batupasir, konglomerat
dan tuffit. Sill berkomposisi Andesit basaltis menerobos satuan tersebut. Lava
basalt hingga andesit dijumpai di bagian tengah, sedang breksi andesit ada di
bagian atas. Berdasarkan kumpulan fosil umur Formasi Kebo-Butak adalah Oligosen
Akhir hingga Miosen paling awal dan diendapkan dalam lingkungan laut terbuka
(Sumarso dan Ismoyowati,1975). Selaras di atasnya adalah Formasi Semilir
terdiri dari material tuffaan berwarna putih berselingan dengan tuffit berwarna
terang, tufa gelas lempungan dan breksi tuff-pumice. Umur formasi ini antara
N5-N9 (Miosen Awal). Bersilang jari
dengan Formasi Semilir adalah Formasi Nglanggran yang tersusun oleh breksi
volkanik, aglomerat, tuffa berlapis buruk, lava bantal basaltis hingga andesitan
serta breksi autoklastik dan hyaloklastik. Ekuivalen dengan Formasi Besole yang
terdiri dari lava bantal
basaltis-andesitis, tuffa dasitis dan intrusi local diorite.
Kulon Progo-Banyumas-Cilacap Area
(South Central Java)
Old Andesite berumur Oligo-Miosen di
daerah ini dikenal sebagai Volkanik Gabon atau Waturanda. Terdiri dari breksi
volkanik, lahar dan breksi tufa. Bersamaan dengan pembentukan struktur didaerah
ini telah terbentuk daerah tinggian dan dalaman. Kerangka fisiografi tektonik
yang penting adalah Tinggian Gabon, Dalaman Citanduy, Tinggian Besuki-Majenang,
Dalaman Kroya, Tinggian Karang Bolong, Dalaman Kebumen, Tinggian Kebumen dan
Tinggian Kulon Progo (Suyanto dan Sumantri,1977). Volkanisme selama
Oligo-Miosen telah mengendapkan endapan
volcano-turbidit Formasi Waturanda di darah dalaman. Di bagian atas volkanik Gabon dijumpai secara setempat
fragmen batugamping yang dikenal sebagai Batugamping Sigugur, yang tertranspor
dari daerah luar Cilacap.
Sedimentasi karbonat yang pertama
terjadi di bagian atas Miosen Awal dan terjadi pada daerah tinggian seperti
Tinggian Kulon Progo dan Tinggian Karang Bolong yang menghasilkan Batugamping terumbu Karang Bolong/Kalipucang,
Jonggrangan dan Formasi Sentolo berumur Miosen Awal – Tengah.
Penyebaran
Batuan Karbonat di depan Pegunungan Selatan Jawa Barat.
Reef selama
Oligo-Miosen tumbuh pada punggungan-punggungan di depan Pegunungan Selatan
(Southern Moutains) meliputi wilayah Bayah-Sukabumi-Rajamandala. Paparan
karbonat dan Reef selama Paleogen di wilayah Bayah telah berkembang. Volkanisme
di daerah ini terjadi paling awal pada Eosen Awal dan berkurang ketika
trangresi Oligo-Miosen menghasilkan
karbonat reef. Di daerah Sukabumi – Rajamandala, reef-reef Formasi Rajamandala
berkembang sebelum Volkanisme Jampang terjadi pada Miosen Awal, ketika
volkanisme meningkat Reef Rajamandala berhenti tumbuh. Sebagai batuan dasar
yang mengalasi tumbuhnya Reef Rajamandala ini adalah Formasi Batuasih yang
berumur Oligosen dan tertutup oleh suatu sekuen turbidit yang tebal berumur
Miosen Awal yakni Formasi Citarum.
1.1.
SEDIMEN MIOSEN
TENGAH – MIOSEN AKHIR
Volkanisme di Jawa mulai
tenang terjadi dari 18 – 12 Ma (Miosen Tengah) yang bersamaan dengan tragresi
maksimum yang menghasilkan perkembangan karbonat reef sepanjang Pegungan
Selatan Jawa seperti Wonosari/Punung di Gunung Kidul, Jonggrangan di Kulon
Progo, Karangbolong / Kalipucang di Banyumas dan BojongLopang di daerah
Jampang. Sebagai dasar dari pertumbuhan reef-reef ini adalah gunungapi bawah
laut.
1.1.1. Penyebaran
sedimen Miosen Tengah – Miosen Akhir di
Jawa Bagian Selatan
Jiwo Hills
dan daerah sekitarnya
Memasuki Miosen Tengah laut mencapai
trangresi maximum dan perkembangan serta pengendapan karbonat mengganti
dominasi volkaniklastik. Peristiwa ini bersamaan dengan akhir kegiatan
volkanisme Paleogen di Jawa pada 18 Ma (Miosen Awal) yang dimulai lagi 12 Ma
(Soeria Atmadja et al., 1994). Penurunan volkanisme dan trangresi maksimum selama Miosen Tengah telah memberikan
lingkungan yang baik untuk perkembangan
sedimentasi karbonat. Sisipan karbonat
mulai muncul pada endapan turbidit Formasi Sambipitu berumur awal Miosen Tengah
menerus hingga Formasi Oyo yang pertama kali memperlihatkan sedimentasi
bersamaan antara karbonat dan volkanisme yang diekpresikan oleh batugamping
tuffaan berlapis baik, napal tufaan, dan tufa andesitan. Dominasi sedimentasi
karbonat atas volkanisme diperlihatkan oleh karbonat Formasi Wonosari (Punung)
berumur Miosen Tengah – Akhir setebal
lebih dari 800m, terdiri dari batugamping berlapis dan batugamping terumbu
dengan sisipan batupasir tufaan,
batugamping tufaan serta batugamping napalan dan batulanau. Paleogen
volkanik telah memberikan tempat untuk
tumbuhnya terumbu Wonosari pada laut dangkal. Formasi Wonosari tersingkap luas
di selatan Bayat dari Parangtritis hingga Pacitan (Surono et al., 1988).
Formasi Wonosari merupakan komplek terumbu terdiri dari empat fasies : 1. Tidal
algal packstone , tersebar dibagian selatan, 2. Reef crest-reef front of Coral
boundstone facies, 3. Upper slope orbitoid-algal packstone dan 4. Lower-slope
packstone wackestone.
Kulon Progo-Banyumas-Cilacap Area (South
Central Java)
Pengendapan napal dan kalkarenit
Formasi Sentolo, Panosogan dan Pananjung menandai genang laut yang luas pada
kala Miosen Tengah. Di daerah Banyumas, KarangBolong-Nusakambangan muncul dan
bertindak sebagai penghalang yang memotong hubungan antara daerah Banyumas
dengan laut terbuka di selatan. Pada akhir Miosen Tengah penghalang tersebut
tertutup oleh laut menghasilkan perkembangan batugamping Terumbu Formasi
Kalipucang. Tektonisme dan volkanisme mulai lagi pada Miosen Akhir yang
menghasilkan Horison Breksi II, Gunung
Wetan sheets and flows, Formasi Kumbang. Pengangkatan Tinggian Majenang menyebabkan
perkembangan palung pada depresi Majenang-Wangon dan terjadi pengendapan
turbidit Formasi Halang. Di daerah Kebumen pengankatan menghasilkan pengendapan
sedimen berbutir kasar dari Horison Tufa Napal III, sedang di Kulonprogo
pengendapan napal Formasi Sentolo.
North Serayu
Trough/Basin (Jawa Tengah bagian Utara)
Terletak di bagian utara Jawa Tengah
dan kemudian terangkat menjadi North Serayu Range. Melampar kearah timur
menjadi Zona Randublatung dan Kendeng Ridge, kearah barat menyatu dengan Bogor
anticlinorium belt (van Bemmelen,1949). Batuan silisiklatik berumur Eosen
dikenal sebagai Worawari bed, merupakan sedimen tertua didaerah ini. Secara
trangresiv tertutup oleh konglomerat dan
batupasir quartzitic dari Lutut beds
dan batugamping terumbu Sigugur beds berumur Miosen Awal. Endapan turbidit yang
tebal lempung napalan, batupasir kuarsa dan batupasir tuffa dari Formasi Merawu
dan Penyatan berumur Miosen Awal – Tengah terdapat di bagian tengah dan timur
serta Formasi Pemali di North Serayu Basin bagian barat. Penelitian kembali
kandunga fosil Formasi Pemali di llokasi tipenya menunjukkan Pliosen Awal dan terendapkan pada laut dalam. Formasi
Merawu dan Penyatan dapat dikorelasikan dengan endapan yang sama di Jawa Timur
yaitu Formasi Kerek di Zona Kendeng dan
Rembang Beds di zona Rembang. Di Cekungan Bogor, Formasi Merawu dapat
dikorelasikan dengan turbidit Formasi Citarum dan Jatiluhur (Saguling). Di atas
Merawu adalah volvanic-clastic turbidites Formasi Halang berumur Miosen Akhir.
Pengangkatan Bagian Selatan Jawa
Tengah pada Miosen Tengah- Miosen Akhir
secara volumetric diimbangi oleh peningkatan subsidence yang tiba-tiba pada
dasar cekungan North Serayu Trough. Penambahan relief pegunungan tidak hanya
menyebabkan pergerakan gelinciran karena gravitasi (gravitational sliding) dari
selatan ke utara, tetapi juga menyebabkan bagian sayap utara meluncur ke arah
cekungan bagian terdalam.
Pada Mio-Pliosen, basal limestone
Bodas Series diendapkan secara transgresiv dan secara tidak selaras menumpang
seri batuan Miosen yang lebih tua. Kemudian penurunan cekungan yang kuat
dimulai, secara volumetrik diimbangi pengangkatan yang kuat South Serayu Range
di bagian selatan Jawa Tengah pada Mio-Pliosen.
Pengisian sedimen selama Mio-Pliosen dalam cekungan North Serayu Zone
dimulai dengan endapan volkanik berselingan konglomerat, dan diakhiri dengan
napal lempung yang lunak, serta batupasir tufaan dari Formasi Kalibiuk. Seri
Volkanik disebut sebagai breksi Kumbang di cekungan bagian barat, seri Bodas di
bagian tengah dan Breksi Banyak di bagian timur, yang secara selaras ditutupi
oleh batuan napal dan batupasir tufaan Formasi Cipluk yang berumur Pliosen
Awal. Breksi volkani seri Bodas Bawah
mengandung konglomerat polimiktik dengan bongkah berasal dari daerah Luk Ulo di
selatan yang terangkat. Breksi volkanik
merupakan produk submarine
volcanoes pada Cekungan NorthSerayu yang mengalami penurunan.
Pada kala Pliosen, sedimentasi laut
dalam masih terjadi di North Serayu
Trough/Basin. Analisis Facies di Brebes-Tegal-Pemalang, Jawa Tengah bagian
utara (Sunardi et al., 2001) menunjukkan kehadiran endapan turbidit yang
ekivalen dengan Formasi Cisubuh
berumur Pliosen.
Setelah kegiatan volkanik Miosen Awal,
batugamping terumbu terbentuk misal batugamping terumbu pada puncal Formasi
Tapak di bagian barat dan batugamping Kapung di bagian timur. Urutan pengendapan di North Serayu Basin sangat menunjukkan
pengangkatan dimulai pada Plio-Plestosen, sebab endapan tersebut hanya terdapat pada
sepanjang tepian North Serayu Range. Endapan
tersebut terdiri dari Damar Series, Ligung Series, dan
Kaliglagah-Mengger-Gintung Series. Perioda pengangkatan ini bersamaan dengan
perioda inversi Cekungan Bogor.
Volcaniclastic Turbidites of the
Kendeng Zone
Sedimentasi laut dalam di Jawa Timur
juga melibatkan sedimen volkanikklastik
Formasi Kerek yang berumur Miosen dalam
Kendeng Trough/Basin. Kendeng
Basin sekarang merupakan lipatan dan
jalur sesar naik (anjakan) yang berarah barat- timur (anticlinorium), melampar
sekitar 250 km panjangnya dan lebar 20
km, dari G.Ungaran di barat hingga S.Brantas di timur dan menunjam dibawah
dataran alluvial yang membatasi Selat Madura (de Genevraye and Samuel,
1972). Bagian barat Kendeng Zone
dicirkan oleh kandungan material volkanik
yang tinggi dan struktur yang rumit. Di bagian tengah, material
piroklastik berkurang kearah utara
tetapi struktur masih komplek. Di bagian
timur material volkanik berkurang dan arah struktur bergeser kearah utara.
Secara keseluruhan Formasi Kerek
terdiri dari sekuen kalkareus dan
lempungan yang masiv dimana material volkanikklastik sangat melimpah. Berbagai
nama telah diberikan pada anggota Formasi ini karena adanya perubahan fasies di
ujung barat Zona Kendeng, De Genevraye dan Samuel (1972) menggunakan nama yang
sama dengan North Serayu Zone. Di daerah
ini Formasi Kerek dibagi menjadi dua
anggota Anggota Merawu berumur Miosen Tengah di bagian bawah dan Anggota
Penyatan berumur Miosen Akhir dibagian atas.
Anggota Merawu merupakan sekuen
volkanik-klastik. Interval bawah dari Merawu terdiri dari konglomerat dan
microconglomerates dengan kerikil kuarsa,
andesitic tuffs dan Lepidocyclina-bearing limestones. Lapisan
rombakan volkanik berukuran kasar ini ditutupi oleh endapan seperti turbidit perselingan
shalysandy –calcareous. Anggota Penyatan
adalah endapan klastik, tufaan, banyak batupasir tuffa berbutir kasar berlapis
tebal dengan sisipan lapisan lempung dan napal berwarna kehitaman termasuk
sekuen turbidit dan lapisan kalkareus jarang dijumpai.
Di Zona Kendeng bagian Tengah dan
Timur, Formasi Kerek tersusun oleh seri
napal lempungan dan lempung yang agak monoton dan napal berselingan
dengan batupasir tufaan gampingan dan non gampingan yang merupakan aspek sekuen
turbidit. Zona Kendeng Tengah pembagian menjadi tiga anggota dillakukan
oleh de Genevraye and Samuel
(1972). Anggota Banyuurip adalah perselingan napal lempungan, napal dan lempung
dengan batupasir tufaan gampingan dan non gampingan Anggota Sentul juga terdiri dari perselingan
lapisan rombakan volkanik lempungan tetapi lapisan tufaan lebih banyak dibagian
atas dan dapat mencapai tebal 20 m.
Anggota Batugamping Kerek merupakan anggota teratas dari Formasi Kerek
terdiri perselingan batugamping tufaan dan lapisan tufaan maupun lempungan.
Formasi Kerek diendapkan pada neritik
luar hingga bathial ketika zona Kendeng mengalami penurunan selama pertengahan
Miosen Awal hingga Miosen Tengah dan
banyak material volkanik
diendapkan pada cekungan tersebut.
Penurunan Zona Kendeng berkaitan
dengan kompensasi isostatik karena pengangkatan jalur volkanik sepanjang axial ridge of Java. Banyak struktur sedimen
yang berkaitan dengan subsiden teramati pada beberapa level dalam Formasi Kerek
seperti flow rolls, synsedimentary microfolds, dan micro growth faulting.
Implikasi
Minyak Bumi Jawa Tengah Utara (North Serayu – Zona Kendeng).
Van Bemmelen (1949) melaporkan
banyak oil seepages dan satu lapangan minyak di North
Serayu Zone. Seepages tersebut terdapat di daerah Karangkobar, Bawang dan
Subah, Klantung dan Sodjomerto, Kaliwaru, Bagian Barat G. Ungaran (beberapa
seepages), dan sebelah timur G. Ungaran. Pemboran eksplorasi telah dilakukan
oleh perusahaan minyak Belanda sejak awal 1900 di dekat seepages namun tidak
berhasil. Namun demikian, pemboran di Klantung dan Sodjomerto berhasil dan
menemukan lapangan Cipluk. Selama 35 th produksi, rata-rata produksi pertahun
menghasilkan beberapa ratus ton minyak. Lapangan Cipluk sekarang ditinggalkan,
terbentuk oleh antiklin terpatahkan dari batupasir volkanikklastik Formasi
Banyak yang berumur Miosen Akhir. Batuan induk diperkirakan dari serpih yang
mengalasi Formasi Merawu atau Serpih
Worawari beds berumur Eosen (ekivalen dengan serpih Ngimbang di Cekungan
Jawa Timur, pengisian trap menggunakan sesar sebagai jalur migrasi yang
bersifat conduits. Sisipan Napal Formasi Cipluk sebagai batuan penyekat baik
lateral maupun vertical. Salah satu singkapanFormasi Pemali diujung barat
adalah di Madja, sebelah barat G.Ciremai daerah Cirebon dilaporkan terdapat oil
seeps yang aktip dan sedikit
terbiodegradasi (Lunt and Burgon, 2003). Sumur pertama yang dibor untuk mencari
minyak di Indonesia adalah di oil seep Madja pada th.1872.
Pergerakan gelinciran karena gravitasi
dari selatan ke utara di North Serayu Trough/Basin terjadi seagai akibat
pengangkatan South Serayu Range selama Miosen Tengah-Miosen Akhir dan
menghasilkan pembentukan struktur. Satuan batuan berumur Eosen hingga Miosen
Akhir yakni Formasi Worawari, Lutut dan Sigugur yang diendapkan pada lingkungan
non-marine hingga laut dangkal serta satuan batuan turbidit Formasi Merawu dan
Penyatan Bawah terdeformasi sebagai toe thrust anticlines dan fault-propagation
folds.
Mekanisme ini sama dengan yang terjadi
pada perangkap hidrokarbon yang telah terbukti menghasilkan minyak di Cekungan Lower Kutai-North Makasar Basin,
dimana pengangkatan daerah Cekungan Kutai bagian hulu selama Miosen Akhir
hingga sekarang telah membentuk perangkap di daerah Lower Kutai-North Makasar
dengan beberapa sedimen terendapkan dalam kolam-kolam sinklinal yang terbentuk
diantara antiklin yang tersesar naik (thrusted anticlines). Semua elemen
petroleum system dan prosesnya di Jawa Tengah Utara dapat terbentuk dengan system ini. Sumber hidrokarbon dapat
diberikan oleh serpih non-marine hingga laut dangkal dari Formasi Worawari maupun lempung napalan Formasi
Merawu. Reservoir berupa batupasir kuarsa
dan batupasir tufaan dari Formasi Lutut dan Merawu, ditambah batugamping
terumbu Sigugur. Batuan penyekat adalah serpih intraformational dalam Formasi
Merawu maupun Penyatan. Maturasi batuan induk dapat dicapai karena cekungan
mengalami penurunan dan tertimbun oleh sedimen post Miosen Akhir. Minyak yang
terbentuk dapat masuk ke dalam perangkap toe
thrust anticlines yang terbentuk pada Formasi Lutut dan Merawu atau
batugamping terumbu Sigugur melalui sesar-sesar dalam toe thrust system. Banyaknya
seepage di permukaan menunjukkan kehadiran petroleum system yang bekerja di
daerah tersebut.
Kerek volcaniclastic sediments yang
diendapkan di zona Kendeng belum
dieksplor kandungan hidrokarbonnya.
Singkapan di Kendeng Barat menunjukkan
sekuen volkanikklastik pasiran ini lebih baik kualitasnya dan lebih kaya pasir kuarsa
disbanding lapisan volkanikklastik Banyak diatasnya. Sedikit minyak di
Klantung-Cipluk Field ujung barat
Kendeng Zone dianggap berasal dari
Banyak volcaniclastic beds.
Penemuan lapangan gas Wunut (Huffco Brantas,1994), lapangan gas Carat serta
lapangan minyak dan gas Tanggulangin
(Lapindo Brantas, 2001), semua terletak 30 km selatan Surabaya, memperlihatkan produktivitas endapan turbiditic volcaniklastik di
Zona Kendeng sebagai reservoir gas dan minyak. Reservoir adalah Formasi Pucangan berumur Pleistosen. Basal Wunut
sands diendapkan dalam sekuen turbiditic mendangkal ke atas menjadi fasie
delta (Kusumastuti et al.,2000), sedang
Carat dan Tanggulangin sands diendapkan sebagai sedimen turbiditik
(AgungDarmoyo, 2004). Volcaniclastic
sands di lapangan Wunut diklasifikasikan
sebagai lithic arkose atau feldspathic litharenites.Matrix batuan terutama
terdiri dari plagioclase feldspar dan
fragmen batuan volkanik dengan sejumlah
mineral sekunder ubahan butiran dan mineral berat. Kandungan lempung bervariasi dan didominasi
oleh smektik. Rata-rata porositas masing-masin individu sand berkisar 25 hingga 35%, dan rata-rata
permeabilitas antara 25 hingga 195 mD.
Pore systems terutama adalah intergranular dan telah ditingkatkan oleh
pori sekunder hasil dari pelarutan mineral (Kusumastuti et al., 2000). Batupasir
volcaniclastik Kerek tidak sebagus batupasir Pucangan dalam kualitas reservoir karena lebih dalam tertimbun dan
terkompaksi. Willumsen dan Schiller (1994) memperkirakan total porosity lebih
besar 30% pada kedalaman dangkal,menurun hampir 20% pada kedalaman 7500 kaki,
dengan permeabilitas rata-rata 100 mD
pada kedalaman dangkal, dan menurun hingga
20 mD pada kedalaman 5000 kaki. Porositas Sekunder dehasilkan oleh
pelarutan mineral meskipun dapat meningkat pada kedalaman yang besar. Lapangan Kuti dan Metatu yang telah lama
ditinggalkan (ditemukan pada akhir 1890) terletak di zona Randublatung dekat
Surabaya juga menghasilkan minyak dari batupasir volkaniclastik. Kuti Field menghasilkan 0.75 MMBO dari
Pleistocene tuffaceous sandstone sedang Metatu menghasilkan 0.3 MMBO dari Pleistocene volcaniclastics
yang sama (Willumsen dan Schiller, 1994).
Kendeng Zone dengan endapan volkaniclastik yang melimpah dari semua umur
bisa mengandung banyak potensi dalam horizon tersebut. Lapisan penghasil minyak
mungkin disediakan oleh napal yang diendapkan bersamaan dengan batupasir
volkaniclastik yang konfigurasinya menyebabkan migrasi langsung hidrokarbon
yang dihasilkan dari batuan induk ke dalam reservoir. Sumber gas biogenic,
berkaitan dengan sedimentasi cepat, dapat ditemukan di horizon yang dangkal pada Kendeng Zone.
Subsiden dari Kendeng Zone dan penimbunan yang dalam lapisan batuan induk akan
membawa batuan induk ke dalam candela pembentukan hidrokarbon. Kehadiran sesar
yang mengakomo-dasi penurunan cekungan dapat bertindak sebagai jalur
hidrokarbon yang vertical dari batuan induk yang dalam ke reservoir yang
dangkal. Penemuan minyak dengan jumlah yang signifikan di Lapangan Oyong, Selat
Madura (Santos Sampang, 2000) dan di Tanggulangin-3 well (Lapindo Brantas,
2004) memperlihatkan bahwa Eocene
Ngimbang shales terendapkan di Kendeng
Trough telah memasuki oil window dan minyak telah bermigrasi melalui sesar yang
vertical mengisi reservoir Pliosen dan Plistosen. Banyak batuan terdiri dari
material berbutir halus dalam Kendeng
Zone yang menurun dan akan menjadi penyekat yang baik. Pemerangkapan dapat
terjadi dalam stratigraphic traps untuk
turbidit, sub-thrust structural traps di bawah north-verging Kendeng thrusts, dan
structural and stratigraphic traps berkaitan dengan subsidence ( toethrust systems) dan
uplift ( sub-thrust systems of the
triangle zone) di dalam Kendeng Zone. Pembentukan lapangan gas dan minyak di
endapan volkaniklastik Kendeng Zone menunjukkan bahwa kemungkinan
minyak dalam zona ini tidak bisa di abaikan.
Daftar
Pustaka:
1.
Budiyani,
Sri., at al., 2003, The Collision of The East Java Microplate and Its
Implication for Hydrocarbon occurrences in the East Java Basin, Indonesian
Petroleum Association, Proceeding
Ann.Conv.29th.
2.
Awang
H.Satyana and Cipi Armandita, 2004, Deepwater Plays of Java Indonesia, Regional
Evaluation on Opportunities and Risks, Indonesian Petroleum Association ,
Proceeding Deepwater and Frontier Exploration in Asia and Australasia
Symposium.
3.
Awang
H.Satyana, 2005, Oligo-Mioscene Carbonates of Java, Indonesia. Tectonic-Volcanic
Setting and Petroleum Implication. Indonesia Petroleum Association, Proceeding
Ann.Conv. 30th.
4.
Helen
Smyth et al., 2005, East Java: Cenozoic Basins, Volcanoes and Ancient Basement,
Indonesia Petroleum Association, Proceeding Ann.Conv. 30th